Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Peralihan sistem impor sapi dari basis negara (country based) menjadi basis zona (zone based) ramai menjadi perdebatan. Sebab, impor daging berdasarkan zona based dikhawatirkan membawa daging impor yang mengidap virus penyakit mulut dan kuku (PMK).
Rochadi Tawaf, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengatakan, sistem zona based penuh risiko. Terutama, tentang adanya kemungkinan penyakit hewan menular utama (PHMU). "Kita tidak bisa memastikan apakah daging atau sapi bakalan yang diimpor itu benar-benar sehat," katanya.
Ia mengatakan, Indonesia belum memiliki sistem kesehatan hewan nasional yang mampu mengontrol kesehatan hewan ternak, termasuk soal impor ini.
Bagi Rochadi, sistem zona based tetap rentan dari penyakit hewan menular, seperti penyakit mulut dan kuku. Pasalnya, sistem ini memperbolehkan impor daging dari negara yang statusnya belum bebas PMK. Sedangkan, aturan sebelumnya yakni country based mengharuskan negara asal daging adalah negara yang statusnya sudah bebas dari PMK.
Rochadi memprediksi, jika sistem zona based dijalankan, maka akan terjadi penurunan penyerapan daging sapi lokal. "Saat ini saja pemotongan sapi lokal di pusat konsumen sudah turun 30% -50%. Pusat konsumen berada di sekitar Jabodetabek," tuturnya.
Menyiasati adanya kebijakan ini, Rochadi mengatakan, pihaknya akan menggunakan strategi good farming practices untuk melindungi peternak lokal. "Tidak ada cara lain, strategi itu sudah paling ampuh. Kami akan mendorong cara beternak yang baik dan benar," ungkapnya.
Ia menambahkan, jika zona based tetap dijalankan, peternak tidak bisa lagi mengandalkan pemerintah terkait vaksin, pengecekan laboratorium, dana tanggap darurat, dan sebagainya. "Jadi kami harus melindungi nasib kami sendiri. Kenapa kami tidak bisa lagi meminta fasilitas tersebut, karena pemerintah tetap membuka zona based tanpa sistem kesehatan hewan nasional," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News