Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya menggenjot hilirisasi di sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) sehingga Indonesia tidak lagi hanya mengekspor bahan mentah. Apalagi, hilirisasi ini juga bisa ikut menekan defisit neraca berdagangan dan transaksi berjalan yang selama ini menjadi permasalahan.
Setidaknya, kata Jokowi, hasil pertambangan mineral seperti timah dan nikel harus diproses hingga setengah jadi jika belum bisa sampai produk jadi. Sedangkan untuk batubara, Jokowi bilang, teknologi pemanfaatan batubara menjadi gas harus bisa dikembangkan.
“Jangan hanya dijual mentah jutaan ton ke luar (ekspor). Ini harus mulai dihentikan dan beralih menjadi barang jadi, kalau tidak bisa, setengah jadi dulu,” katanya saat menyampaikan sambutan di acara Kompas 100 CEO Forum, Selasa (27/11).
Hingga kini, hilirisasi sektor minerba memang masih masih terkendala. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono pernah mengungkapkan bahwa faktor keekonomian dan teknologi menjadi kendala utama dalam pengembangan hilirisasi di sektor ini.
“Keekonomian yang harus dibuktikan bahwa ini bisa. Seperti di smelter, mineral, kan karena itu juga jadi alot,” kata Bambang.
Padahal, hilirisasi di sektor minerba bisa memberikan impilkasi positif terhadap sektor lainnya, salah satunya bagi kelistrikan. Direktur Perencanaan Korporat PLN Syofvi Felienty Roekman menyebut, smelter ini bisa meningkatkan pertumbuhan listrik PLN cukup signifikan, karena setiap satu unit pabrik diperkirakan membutuhkan listrik mencapai 200-300 megawatt (MW).
Sehingga, selain dengan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan listrik tahun depan yang diproyeksikan sekitar 6%, juga mmeperhitungkan permintaan listrik dari smelter. “Kami juga sudah mulai punya spot-spot smelter, harapannya di Desember sudah ada yang masuk, dari Morowali dan Kolaka,” katanya.
Selain PLN, perusahaan minyak plat merah, Pertamina, juga menyebut bahwa hilirisasi minerba akan berimbas positif pada kinerjanya. Sebab, melalui gasifikasi batubara yang saat ini tengah dikembangkan dengan PT Bukit Asam (PTBA), Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menargetkan, pihaknya bisa menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) hingga 70%.
“Kami tadi ditantang untuk kurangi impor, ini langkah-langkah yang tengah kami lakukan (gasifikasi batubara), target kami (menurunkan impor) 70%,” kata Nicke yang juga hadir dalam Kompas 100 CEO Forum.
Nicke menjelaskan, dalam proyek ini, batubara akan melalui proses gasifikasi menjadi dimethylether (DME) dan synthetic natural gas (SNG), yang dapat menjadi pengganti sebagian LPG yang diimpor. Nicke bilang, untuk tahap pertama, proyek ini akan dibangun di Pranap, Riau, dan akan dimulai pada awal tahun 2019.
“Insya Allah awal tahun depan perencanaan proyeknya sudah bisa kita mulai. Karena kita sudah menentukan teknologi yang akan digunakan,” imbuhnya.
Asal tahu saja, untuk proyek gasifikasi tersebut, pada awal bulan ini PTBA dan Pertamina telah menggandeng perusahaan asal Amerika Serikat, Air Products and Chemicals Inc. Pabrik gasifikasi di Peranap ini diharapkan dapat mulai beroperasi pada tahun 2022 dengan kapasitas pabrik sebesar 400 ribu ton DME per tahun, dan 50 mmscfd SNG dengan pasokan batubara sekitar 9 juta ton per tahun.
Realisasi pengembangan hilirisasi minerba memang harus ditingkatkan. Sebab, menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandi Arif, belum signifikannya hilirisasi karena selama ini proyek-proyek yang akan dikembangkan hanya berakhir pada tahap pilot project, karena terhadap oleh skala ekonomi, kapasitas produksi dan teknologi.
Oleh sebab itu, Irwandi menilai, ke depan diperlukan evaluasi yang komprehensif tentang pemenfaatan minerba di Indonesia. Mulai dari volume produksi, ekspor, pemakaian untuk PLTU batubara, hingga untuk smelter mineral.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News