Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Realisasi produksi batubara yang tercatat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih di bawah target. Berdasarkan data yang terhimpun hingga 27 Desember 2018, produksi batubara baru mencapai 456 juta ton atau 94% dari target dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2018 sebesar 485 juta ton.
"(Produksi) November itu kan 441 juta ton. Data di MOMS (Minerba Online Monitoring System) sudah ada tambahan 15 juta ton, jadi 456 juta ton," kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi kepada Kontan.co.id, pada Jum'at (28/12).
Namun, Agung yakin produksi hingga akhir tahun ini bisa melebihi target dari RKAB tersebut. Sebab, data yang bisa cepat tercatat oleh Kemenetrian ESDM adalah laporan dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP), sedangkan IUP Daerah baru melaporkan realisasi produksi sampai bulan September.
Sebelumnya, baik pihak Kementerian ESDM maupun Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memprediksi realisasi produksi hingga akhir tahun 2019 bisa menembus angka 500 juta ton. Mengingat pada September lalu, untuk menggenjot ekspor, Kementerian ESDM membuka tambahan kuota prduksi batubara sebesar 21,9 juta ton kepada 32 perusahaan, sehingga total produksi batubara tahun ini diproyeksikan menjadi 506,9 juta ton.
Berbeda dengan produksi batubara yang diprediksi bisa memenuhi target RKAB, Agung Pribadi tak yakin, pemenuhan batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) akan mencapai target yang dipatok sepanjang tahun ini. Pasalnya, hingga 27 Desember, serapan DMO baru mencapai 105 juta ton atau 86,77% dari target.
Sedangkan menurut Agung, diperkirakan serapan DMO hingga Desember hanya mencapai 115 juta ton. "DMO kan tergantung yang menyerap, memperhatikan kebutuhan dan serapan dari PLN juga," kata Agung.
Dalam hal ini, Kepala Divisi Batubara PLN Harlen sebelumnya memang mengungkapkan bahwa serapan batubara untuk kelistrikan PLN akan lebih kecil dari target. Dari 92 juta ton target yang dipatok sepanjang tahun ini, realisasi penyerapanya diperkirakan hanya 90 juta ton. “Ada perbedaan asumsi dan realisasi beban, tapi akhir tahun kami akan naikkan stock untuk antisipasi cuaca awal tahun,” ujar Harlen beberapa waktu lalu.
Adapun, mengenai kewajiban untuk memasok DMO sebesar 25% dari produksi oleh produsen batubara, menurut Agung, hingga kini evaluasi masih berlangsung. Sayang, Agung tak menyebut kapan kewajiban DMO 25% itu akan selesai dievaluasi. "Masih berproses," jawabnya singkat.
Evaluasi DMO ini menjadi alasan mengapa proyeksi produksi batubara tahun depan masih belum ada kejelasan. Pasalnya, meskipun perusahaan batubara telah mengajukan RKAB 2019, namun belum ada persetujuan karena masih harus menunggu hasil evaluasi DMO.
"Sudah pada mengajukan, tapi belum ada yang ditetapkan, karena tergantung DMO-nya. Setelah itu baru ditetapkan," ujar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM bambang Gatot Ariyono belum lama ini.
Bagi perusahaan yang belum memenuhi DMO 25%, pemerintah pun telah membuka skema transfer kuota yang dilakukan dengan cara Business to business (B to B), yang menurut Bambang, skema itu telah berjalan.
Namun, menurut Ketua APBI Pandu P. Sjahrir, pemenuhan kewajiban DMO 25% dan skema transfer kuota masih terkendala. Khususnya karena harga, spesifikasi kalori batubara dan jumlah kuota yang bisa ditransfer, sehingga tidak banyak perusahaan yang melakukan transfer kuota. "DMO akan menjadi masalah karena tidak banyak transaksi B to B terjadi," kata Pandu.
Mengenai target produksi tahun depan, pihak Kementerian ESDM belum bisa memberikan proyeksinya. Namun, menurut Pandu, pada tahun depan, produksi diprediksi akan stagnan, tak akan lebih dari 500 juta ton. "Tahun depan akan flat, penjualan jugaakan flat," ungkapnya.
Lebih lanjut, menurut Hendra Sinadia, dengan lesunya kondisi pasar dan harga saat ini yang mengalami tren penurunan, target produksi tahun depan idealnya tidak melebihi 500 juta ton. Sebab, lanjut Hendra, jika target produksi dipatok di atas 500 juta ton, maka itu justru akan memberikan sentimen negatif terhadap industri batubara dengan semakin harga.
Sedangkan terkait dengan proyeksi DMO, Hendra berharap, pada tahun depan serapan DMO bisa da peningkatan. "Harapannya semoga meningkat. Kalau melihat rata-rata mungkin akan sekitar 5-7% peningkatannya," kata Hendra.
Hal senada juga dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia Yusri Usman. Bahkan, menurut Yusri, harusnya pemerintah sudah mulai membatasi produksi batubara tahun 219 di angka 400 juta sesaui dengan RUEN dan RPJMN.
Yusri mengungkapkan, ada dua alasan mengapa hal itu harus dilakukan. Pertama, terkait dengan keberlanjutan batubara nasional, dan kedua, pembatasan produksi juga terkait dengan upaya pengendalian harga batubara, mengingat salah satu penyebab tren penurunan harga batubara adalah karena supply yang berlebih dan di satu sisi permintaan yang menurun. "Paradigma juga harus diubah, tidak jor-joran ekspor, batubara harus dilihat sebagai sumber ketahanan energi, tidak hanya komoditas strategis," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News