Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Produksi gula pada tahun ini diprediksi meleset dari target sebesar 2,5 juta ton. Ini merupakan dampak perubahan iklim global yang belakangan ini tidak menentu, terutama badai La Nina di sejumlah wilayah Indonesia yang menyebabkan musim hujan berkepanjangan.
La Nina menyebabkan tanaman tebu tidak mendapatkan matahari yang cukup untuk bisa menghasilkan gula maksimal. Selain itu, banyaknya Pabrik Gula (PG) yang sudah uzur juga turut membuat rendemen turun.
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Agus Pakpahan mengatakan, berdasarkan data AGI, realisasi giling tebu per 31 Agustus 2016 turun drastis. Di sejumlah PG, rendemen gula turun sebesar 2%. Akibatnya, produksi gula hingga tutup tahun ini diperkirakan berkisar 2,2 juta ton hingga 2,3 juta ton.
"Salah satu solusi menghadapi kondisi ini, kita memerlukan varietas tebu yang tahan terhadap segala cuaca," ujar Agus, Rabu (14/9).
Agus menjelaskan, saat ini rata-rata rendemen gula turun di bawah 7% dari posisi saat ini di atas 7%. Dengan rendemen yang rendah, produksi gula petani pun menurun.
Berdasarkan catatan AGI, pada musim giling sekarang, rendemen tebu terendah di PG Gondang Baru yaitu 4,92%, sedangkan rendemen tertinggi di PG Assem Bagoes, yaitu 7,56%.
Agus mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap kondisi pertanian tebu di tingkat petani dan kondisi PG di sejumlah PTPN milik negara. Sebab kebijakan pemerintah yang menetapkan harga gula di kisaran Rp 12.500 per kilogram (kg) menyebabkan petani enggan menanam tebu.
Apalagi, lahan tebu itu sama dengan lahan padi. Jadi, saat harga beras bagus, petani memilih menanam padi daripada tebu. Agar minat terhadap penanaman tebu meningkat, maka harga tebu harus rata-rata mencapai Rp 12.000 kg sampai Rp 15.000 per kg di tingkat petani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News