Reporter: Amailia Putri Hasniawati |
JAKARTA. Minimnya produksi kakao fermentasi membuat pasokan bahan baku ke sejumlah industri pengolah kakao seret. Padahal, kapasitas terpasang pabrik pengolahan cokelat di Indonesia sebesar 300.000 ton per tahun. Sementara realisasi produksinya baru 150.000 ton.
Menurut Piter Jasman, Ketua Umum Asosiasi industri Kakao Indonesia (AIKI), industri pengolah cokelat di indonesia seberanya sudah mau menyerap kakao fermentasi dari petani. Antara lain BT Cocoa mesindotama, PT Maju Bersama, serta PT Kopi Jaya. Total kebutuhan tiga industri ini mencapai 50.000 ton kakao fermentasi tahun ini.
Ketiga industri ini membeli kakao fermentasi melalui gabungan kelompok tani (gapoktan) atau koperasi petani di daerah Banten, Luwu dan Bali. "Harga pembelian kami sesuaikan dengan harga di New York Board of Trade (NYBOT)," ujar Piter.
Namun, sementara waktu untuk menangani minimnya pasokan kakao fermentasi dari petani, Piter bilang dalam waktu dekat pihaknya akan melakukan fermentasi sendiri buah cokelat yang dibeli dari petani.
“Kami beli basah seharga 1:3 dari kakao fermentasi. Targetnya tahun ini terealisasi,” jelasnya.
Piter optimistis, kedepan akan makin banyak petani yang melakukan fermentasi. Sehingga realisasi produksi industri pengolah cokelat naik menjadi 230.000 ton tahun depan.
Usulan Piter ditanggapi dingin oleh Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Sulaiman Husain. Karena, industri pengolahan cokelat Mars membeli biji kakao terpilih hanya seharga Rp 9.000 per kg.
Sulaiman bilang, salah satu cara untuk meningkatkan produksi kakao fermentasi adalah dengan melakukan peremajaan tanaman kakao serta perluasan lahan. Untuk hal ini, pemerintah sudah emncanangkan gerakan nasional kakao (gernas kakao) tahun lalu. Sayang, masih terhambat moratorium.
Padahal tahun ini, luas lahan kakao ditargetkan naik menjadi 59.663 ha. Rinciannya, untuk peremajaan 15.150 ha, rehabilitasi 28.613 ha dan untuk intensifikasi lahan seluas 15.900 ha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News