Reporter: Bernadette Christina Munthe | Editor: Edy Can
JAKARTA. Meski Indonesia merupakan produsen teh yang cukup besar, negara ini juga mengimpor teh. Bahkan impor teh tahun ini naik tinggi sekali hingga mencapai 46,57%. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama delapan bulan pertama tahun ini, impor teh telah mencapai 9.559 ton. Periode yang sama tahun lalu, impor teh hanya 6.522 ton. Peningkatan jumlah impor ini praktis mendongkrak nilai impor sebesar 28,67% dari US$ 11,77 juta menjadi US$ 15,15 juta.
Atik Darmadi, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia mengatakan, teh yang kerap diimpor biasanya merupakan bahan baku untuk campuran teh olahan. Sebagian teh olahan ini ada yang diekspor, namun sebagian untuk konsumsi dalam negeri.
Rachmad Gunadi, Direktur Utama perusahaan perkebunan dan pengolahan teh PT Pagilaran menambahkan, impor teh naik terutama jenis teh hijau. Hal ini karena adanya kelangkaan pucuk teh hijau di Jawa Barat. Padahal, teh hijau ini merupakan bahan baku utama pembuatan teh wangi di Jawa Tengah.
Harga tinggi
Kelangkaan pasokan ini juga membuat harga teh hijau domestik tinggi. “Sekarang harga pucuk teh hijau (basah) Rp 2.100 per kg, berarti produsen harus mengeluarkan Rp 13.000 per kg untuk memproduksi teh wangi," kata Rachmad ketika dihubungi KONTAN, Senin(17/10).
Sementara, harga jual teh wangi hanya Rp 9.000-Rp 11.000 per kg. Ini menyebabkan margin pengusaha pun semakin kekcil. Untuk menekan beban pokok produksi, maka para pengusaha pun mencari teh impor.
Pada kenyataannya, penurunan produksi ini tak hanya terjadi pada teh hijau saja. Endang Sopari, Ketua Asosiasi Petani Teh Indonesia (Aptehindo) mengatakan, musim kering yang berlangsung sejak Juli menyebabkan pucuk daun teh sulit tumbuh. Akibatnya, produksi pucuk daun teh merosot hingga 60% pada musim kemarau ini.
Akibatnya, produksi petani turun. Bila biasanya dalam sebulan petani bisa memetik dua sampai tiga kali, sekarang petani hanya bisa memetik dauh teh sekali sebulan. "Biasanya per bulan bisa produksi 700 kg-800 kg per hektare (ha), sekarang tinggal 200 kg,” kata Endang.
Petani berharap hujan yang diramalkan turun Oktober ini bisa memperbaiki keadaan. Sayang, sejak awal Oktober hujan hanya turun dua kali sehingga tak kunjung berhasil menumbuhkan pucuk daun teh. Padahal, bila turun sekali seminggu, produksi teh bisa terdongkrak.
Produksi yang merosot juga menyebabkan harga rata-rata semua jenis teh menanjak. Sejak Juli hingga Oktober lalu, harga pucuk teh petani di atas Rp 2.000 per kg. Memang, bila dibandingkan dengan harga rata-rata teh yang berkisar Rp 1.200-Rp 1.400 per kg, harga ini sudah melesat 50%-66,6%.
Namun, tetap saja petani tak bisa menikmati kenaikan harga ini karena produksi seret. Dalam menghadapi hal ini, petani teh hanya memiliki tiga pilihan; yakni memelihara kebun seadanya, menanam komoditas lain, atau melepaskan lahan.
Rachmad mengaku kecewa dengan kondisi ini. “Pemerintah tidak menyediakan lapangan kerja, mengapa petani yang sudah ada ini tidak dibantu berkembang?" keluhnya. Ia juga menyayangkan lemahnya koordinasi antar instansi pemerintahan sehingga tak bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Selama ini menurutnya kebijakan di sektor hilir seperti perdagangan dan perindustrian tak pernah mempertimbangkan produksi teh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News