Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi minyak nasional saat ini menembus angka 610.000 barel per hari (bph), melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang dipatok sebesar 605.000 bph.
Namun, Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) menilai pencapaian tersebut belum bisa menjadi indikator pasti target lifting tahunan akan terpenuhi.
Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengatakan, angka lifting harian memang kerap fluktuatif sepanjang tahun. Karena itu, capaian sementara di pertengahan tahun belum bisa dijadikan patokan akhir.
“Lifting kita itu diukur per hari dan bisa naik turun. Tahun lalu pun sempat di atas 600.000 bph, tapi bukan berarti rata-rata tahunannya juga di atas 600.000,” kata Moshe kepada Kontan, Senin (16/6).
Moshe menegaskan, indikator utama untuk menilai apakah target APBN tercapai atau tidak adalah rerata lifting sepanjang tahun, yang baru bisa dipastikan pada akhir tahun atau awal tahun berikutnya setelah semua data dikompilasi.
Baca Juga: Menteri Bahlil Evaluasi Izin Lapangan Minyak, Produksi Migas Berpotensi Meningkat
Moshe mengakui sejumlah inisiatif pemerintah dan pelaku usaha menunjukkan arah yang positif terhadap peningkatan produksi. Misalnya, dengan akan diresmikannya proyek Banyu Urip Infill Plastic (BUIC) di Blok Cepu oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, yang ditargetkan menambah produksi sekitar 30.000 bph.
“Potensi untuk meningkatkan lifting itu ada, terutama dari proyek-proyek baru. Tapi kita juga harus lihat bahwa realisasi produksi dari proyek itu tidak langsung 150.000 barel begitu diresmikan. Ada tahapan dan waktu,” jelas Moshe.
Selain itu, ia menyoroti tantangan struktural di sektor hulu migas Indonesia, yakni dominasi lapangan tua yang menyebabkan penurunan alamiah produksi, sehingga butuh tambahan investasi dan teknologi untuk menjaga bahkan meningkatkan produksi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa produksi minyak Indonesia per Juni 2025 sudah mencapai 610.000 bph. Angka ini mengalami kenaikan dibanding kuartal I-2025 yang hanya berkisar 580.000 bph.
Baca Juga: Indonesia Genjot Produksi Minyak! Target Tambahan 20.000 BOPD hingga Akhir 2025
Meski tren saat ini tampak menjanjikan, Moshe menegaskan bahwa kesimpulan soal keberhasilan pencapaian target lifting belum bisa ditarik.
“Kita harapkan bisa capai target. Tapi ini baru pertengahan tahun, masih ada enam bulan ke depan. Apapun bisa terjadi,” pungkas Moshe.
Di sisi lain, pengamat ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti menilai, pencapaian tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah, termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dalam menjaga kinerja sektor migas.
“Ini menunjukkan indikasi bahwa pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan lifting migas di Indonesia,” kata Yayan kepada Kontan, Senin (16/6).
Yayan menilai langkah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyisir sumur-sumur minyak produktif dan mendorong pemanfaatan teknologi sebagai kebijakan yang rasional. Langkah tersebut dinilai efektif dalam mendorong optimalisasi produksi.
Meski begitu, Yayan menggarisbawahi masih adanya kesenjangan antara target jangka panjang dan realisasi saat ini.
“Walaupun targetnya sudah di atas 600.000 bph, tapi masih ada gap sekitar 700.000 hingga 800.000 bph untuk mencapai kemandirian energi,” ujarnya.
Karena itu, Yayan mendorong pemerintah untuk mengambil langkah lebih agresif dalam mengeksplorasi ladang-ladang baru, terutama ladang minyak—bukan hanya gas atau kondensat.
“Eksplorasi masif dan pembiayaan untuk memperoleh cadangan-cadangan minyak baru harus segera dipikirkan,” kata Yayan.
Yayan juga menyoroti pentingnya diversifikasi pasokan energi melalui investasi luar negeri. Ia mendorong Pertamina untuk berinvestasi secara strategis di kawasan seperti Asia Tengah dan Afrika Utara.
“Misalnya di Kazakhstan, Turkmenistan, atau Maroko, agar kita bisa mendapatkan minyak dengan harga lebih kompetitif,” ujarnya.
Lebih jauh, Yayan menyoroti potensi kolaborasi dengan perusahaan migas global, termasuk perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang memiliki teknologi pengembangan sumur tua.
Menurut dia, jika didukung R&D yang kuat, Indonesia bisa meningkatkan produktivitas dari sumur-sumur yang sudah matang.
“Setidaknya lifting bisa mencapai 700.000 hingga 750.000 bph tahun ini. Itu akan berdampak positif terhadap devisa dan struktur neraca energi nasional,” sebutnya.
Baca Juga: Regional Jawa Pertamina Produksi Minyak 54.200 Barel Sepanjang 2024
Namun, peningkatan produksi saja belum cukup. Yayan mengingatkan pentingnya penguatan infrastruktur hilir, khususnya kilang minyak dalam negeri.
“Kita perlu meningkatkan kapasitas kilang agar produksi bisa dikonsumsi di dalam negeri. Tapi memang ini dilematik, karena sebagian produksi migas adalah sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Jadi perlu ada perhitungan matang antara konsumsi dan ekspor,” tutupnya
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar mengapresiasi peningkatan lifting minyak bumi yang diharapkan kenaikan ini bisa bertahan sampai akhir tahun.
Namun, kata Bisman, masih banyak dan tantangan migas besar terutama di hulu belum ada peningkatan investasi dan eksplorasi yang besar. Masalah hukum terkait legislasi menjadi hambatan karena belum selesainya RUU Migas sejak 15 tahun yg lalu.
"Kita berharap Pemerintah punya kehendak kuat untuk menyelesaikan RUU Migas agar iklim kegiatan usaha Migas bisa lebih cerah karena terjaminnya kepastian hukum," kata Bisman kepada Kontan, Senin (16/6).
Baca Juga: Produksi Minyak Terus Merosot, Menteri ESDM Bahlil Curiga Ada Unsur Kesengajaan
Selanjutnya: ETF Emas di Indonesia Menanti POJK
Menarik Dibaca: Ini Cara Lunasi Cicilan Pinjaman Rp 10 Juta Setiap Bulanan dan Biaya Tersembunyi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News