Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat Otomotif Bebin Djuana menilai jika industri otomotif dalam negeri akan sangat mudah menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan mobil produksi standar internasional yang mengacu pada issue global, seperti produksi mobil ramah lingkungan. Ia menyebutkan sebabnya adalah karena masing-masing induk perusahaan sudah punya produk yang memenuhi syarat.
"Tidak seperti yang baru mulai bangun pabrik! Industri kita mengacu pada standar lama yang sudah dianggap basi oleh dunia selama ini. Perubahan, penyesuaian harus terjadi, terlalu lama kita terlena dan membiarkan hal ini berlangsung," tuturnya saat dihubungi oleh Kontan, Senin (1/11).
Sebagai informasi, konferensi perubahan iklim COP26 yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober-12 November 2021 digadang menjadi sebuah momen penting perubahan di industri otomotif global. Acara ini untuk kembali menekankan transisi dari kendaraan konvensional berbahan bakar ke mobil murni bertenaga listrik.
Kala itu sejumlah negara di dunia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas buang sebesar 29% pada 2030 dan gelaran COP ke-21 menjadi pintu gerbang berbagai negara mendorong pabrikan otomotif untuk fokus mengembangkan kendaraan listrik menjadi alat transportasi masa depan termasuk di Indonesia.
Melihat hal tersebut, Bebin berkata jika Pemerintah juga harus menyediakan bahan bakar yang sesuai untuk mobil ramah lingkungan ini. Ia menilai, pengadaan bahan bakar dan produsen memang seperti memilih telur atau ayam terlebih dahulu.
Baca Juga: Hingga kuartal III 2021, Toyota Astra Motor (TAM) catat peningkatan penjualan 87% yoy
Namun demikian, jika ingin mengawali perubahan dan memulai produksi mobil ramah lingkungan, hal ini harus melihat keseriusan Pemerintah. Keseriusan tersebut tentu akan dilihat baik oleh produsen lawas maupun pendatang.
"Masa depan transportasi darat dunia akan beralih ke kendaraan listrik, ini akan sangat menarik jika Pemerintah sekarang ingin agar negara kita tidak tertinggal untuk mampu memproduksi kendaraan listrik. Bagi merk-merk yang sudah mendirikan pabrik puluhan tahun yang lalu, tentu tidak sulit untuk mengubah sebagian fasilitas produksi secara bertahap. Tetapi biasanya karena takut kehilangan pasarnya masih tetap memproduksi kendaraan berbahan bakar minyak bumi," sambungnya.
Sedangkan bagi pendatang baru, mereka akan melihat keseriusan pemerintah dalam pengadaan stasiun charging. Jika Pemerintah serius menyediakan hal itu, maka investasi pabrik kendaraan listrik akan berdatangan dan tentunya akan membuka lapangan kerja bagi tenaga muda yang terampil.
Mengenai besaran investasi produksi mobil ramah lingkungan, Bebin mengatakan hal ini tergantung dari merk masing-masing produsen, pangsa pasar, tingkat otomatisasi dan kapasitas produksi. "Jadi besaran investasi didasarkan dari sana. Investasi masih lebih besar membangun industri otomotif konvensional, demikian pula industri-industri pendukungnya," tutup dia.
Selanjutnya: Kemenperin dorong penerapan peta jalan industri kendaraan listrik dalam negeri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News