kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Produsen jamu: Tantangan terberat di industri jamu adalah regulasi


Minggu, 31 Januari 2021 / 15:50 WIB
Produsen jamu: Tantangan terberat di industri jamu adalah regulasi


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pandemi Covid-19, produk jamu kembali populer dan makin digandrungi masyarakat. Peluang ini dilihat beberapa produsen jamu Tanah Air. Kendati demikian, banyak tantangan yang harus dihadapi mereka, salah satunya adalah regulasi. 

Chief Financial Officer PT Mustika Ratu Tbk (MRAT), Jodi Andrea Suryokusumo mengatakan saat ini tantangan terberat industri jamu adalah regulasi. Sebagai gambaran, regulasi di Indonesia memisahkan antara farmasi dan jamu.

Adapun jamu yang sudah naik level menjadi sekelas obat farmasi dibagi menjadi obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka (FF). Namun, untuk mencapai level tersebut, apalagi menjadi fitofarmaka, produsen jamu harus melewati banyak fase uji klinis yang membutuhkan biaya tambahan yang besar. "Sedangkan, sampai saat ini masih belum jelas, seperti apa pasar menyerapnya dan pemahaman masyarakat terhadap produk OHT dan fitofarmaka," kata Jodi kepada Kontan.co.id, Rabu (27/1). 

Saat ini, sudah ada produk Mustika Ratu yang menjadi OHT yakni produk slimming tea. Selain itu, produk immunomodulator MRAT yang belum lama ini diluncurkan, yakni Herbamuno+ juga sedang proses menjadi fitofarmaka. 

Baca Juga: Di tengah pandemi, sejumlah perusahaan ramai-ramai rilis produk immunomodulator

Senada, CEO Martha Tilaar Group, Kilala Tilaar menjelaskan tantangan lain di industri jamu adalah tingkat kepercayaan dokter ke produk jamu disayangkan belum tinggi sehingga tidak semua dokter mau memberikan jamu di dalam resep obatnya. Maka dari itu, produk jamu sulit penetrasi ke industri farmasi. 

Menurut Kilala, seretnya penyerapan produk jamu ini membuat pelaku industri jamu kurang bergairah untuk menjadikan produknya sebagai obat herbal tersandar atau sebagai fitofarmaka karena dibutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang cukup besar. 

"Jadi tantangannya di situ, penerimaan terhadap si dokter untuk meresepkan produk-produk berbasis tradisional atau berbasis empiris yang sudah diriset secara modern," ujar Kilala. 

Ke depannya, setelah ada pandemi Covid-19 yang membuat banyak masyarakat kembali melirik obat tradisional, Kilala berharap generasi dokter yang akan datang sudah mulai sadar dengan potensi jamu yang juga mujarab untuk membantu penyembuhan penyakit. 

Baca Juga: Bisnis apa yang bakal moncer di tahun Kerbau Logam? Ini ulasannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×