Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Adanya dugaan penyebab stunting dikarenakan produk hasil tembakau (rokok) dinilai kurang tepat oleh tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Hasil kajian menunjukkan bahwa produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama.
Akan tetapi pendidikan, pendapatan, dan kualitas lingkungan masyarakat yang mendorong terjadinya stunting dan penyakit tidak menular (PTM).
Kajian tersebut dilakukan oleh PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan PTM. Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada masyarakat di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.
Dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/10), Direktur PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.
Baca Juga: Siam Cement Group (SCG) Sasar IKN untuk Proyek Energi Baru Terbarukan
Di sisi lain, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan pola makan minum juga berpengaruh pada PTM di Indonesia.
“Hasil kajian kami menunjukkan bahwa konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok bukan indikator utama penyebab PTM,” kata Candra dalam focus group discussion (FGD) ‘Meneropong Fenomena Stunting dan PTM dalam Bingkai Kebijakan Cukai yang Berkeadilan dan Berkelanjutan’.
Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpandangan, menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan alasan menurunkan stunting tidaklah beralasan.
“Upaya framing dengan mengkambinghitamkan rokok sebagai penyebab stunting, agar pemerintah menaikkan tarif CHT justru memperbesar dampak negatif seperti semakin maraknya rokok ilegal,” tegas Henry Najoan.
Henry Najoan mengatakan kondisi industri hasil tembakau (IHT) legal saat ini sedang injury. Karena itu, diperlukan relaksasi agar IHT legal dan mata rantai yang berelasi disepanjang industri ini bisa pulih dan bertahan. Ia juga memohon agar pemerintah untuk mereview kembali kenaikan tarif CHT di tahun 2024 dengan menyesuaikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
“GAPPRI berharap ke depan, IHT legal mendapatkan jaminan kepastian hukum untuk tetap hidup dan tumbuh sebagaimana diamanahkan dalam Konstitusi kita,” kata Henry Najoan.
Baca Juga: Avia Avian (AVIA) Luncurkan Produk No Drop Basic dan Avitex Wizz
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengajak semua pihak mencari resultan dari beberapa kepentingan untuk mencari solusi bersama. Pada titik inilah dibutuhkan kolaborasi yang pada prinsipnya adalah gotong royong.
“Kita berjalan bersama-sama. Seperti Pancasila itu ada 5 sila, kalau diperas ada persatuan, kalau diperas lagi itu gotong royong. Sekali lagi, kami tidak ingin menang sendiri. Mari kita gotong royong untuk mensukseskan program pemerintah,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News