Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kegiatan lifting minyak dan gas (migas) dibayangi oleh penambahan jumlah kasus Covid-19 masih terus terjadi.
Pada Kamis (24/6) lalu, kasus harian Covid-19 bahkan menembus angka 20.000, yakni persisnya di angka 20.574 kasus berdasarkan data Satgas Covid-19.
Dengan tambahan kasus baru tersebut, maka total kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 2.053.995 kasus positif per Kamis (24/6) sejak pertama kali diumumkan pada tahun lalu.
Di sisi lain, pemerintah juga telah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro yang diperketat selama 22 Juni-5 Juli 2021 ini.
Dituangkan dalam bentuk Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2021, aturan ini memperbolehkan sektor-sektor esensial seperti sektor energi untuk tetap dapat beroperasi 100%, namun dengan pengaturan jam operasional, kapasitas, dan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat.
Baca Juga: Kenaikan harga minyak dunia berpotensi membuat anggaran subsidi membengkak
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, gelombang kasus Covid-19 yang masih berlangsung serta pengetatan kegiatan operasional yang ditetapkan berpotensi sedikit menghambat target lifting migas yang telah dicanangkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.
Alasannya, pengetatan yang diterapkan berpotensi menghambat pengadaan/mobilitas alat-alat penunjang operasional hulu migas.
“Pembatasan aktivitas akan berdampak pada mobilitas alat-alat beratnya,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Jumat (25/6).
Sebagai pengingat, pemerintah mencanangkan target lifting migas sebesar sebesar 1.711,78 ribu barel setara minyak per hari atau Million Barrel Oil of Equivalent Per Day (MBOEPD) dalam APBN 2021.
Meski berpotensi sedikit terhambat, Komaidi menilai bahwa realisasi target lifting migas APBN 2021 masih realistis untuk dicapai. Optimisme Komaidi berdasar pada sejumlah katalis positif, salah satunya harga migas yang mulai membaik.
Agar target lifting tercapai, Komaidi menilai bahwa SKK Migas harus terus berkoordinasi dan menjadi fasilitator bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Komaidi menerangkan, KKKS umumnya meminta sejumlah fasilitas. Bentuknya bisa berupa insentif seperti perubahan besaran sharing split alias bagi hasil dan insentif perpajakan, maupun kemudahan perizinan.
“Umumnya KKKS meminta sejumlah fasilitas kepada pemerintah. Dalam konteks itu SKK Migas dapat menjadi jembatan para pihak,” tutur Komaidi.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, faktor-faktor seperti pengurangan personil di lapangan, pembatasan perjalanan memang berpengaruh pada produktivitas operasi migas.
Ia juga mencatat bahwa kegiatan operasional di hulu migas belum normal saat ini. Meski begitu, ia optimistis para KKKS, berbekal pengalaman menghadapi gelombang Covid-19 pertama, berada dalam kondisi yang lebih siap menghadapi kondisi pandemi Covid-19 ke depannya.
“Kegiatan-kegiatan monitoring bisa dilakukan secara remote, namun banyak juga kegiatan di lapangan bisa dilakukan secara remote maupun melalui otomasi, memang karena jenis pekerjaannya,” ujar Moshe kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Anggaran subsidi bisa membengkak terdampak kenaikan harga minyak dunia
Menyoal target lifting APBN 2021, Moshe mengaku belum bisa memprediksi prospek lifting migas sampai tutup tahun nanti. Namun demikian, ia berharap bahwa target yang dicanangkan oleh pemerintah bisa tercapai.
“Situasi saat ini memang masih sangat sulit untuk di prediksi, kita masih di tengah-tengah krisis, belum masuk ke masa recovery,” ujar Moshe.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Susana Kurniasih mengatakan, SKK Migas berharap, gelombang Covid-19, andaikata terjadi, tidak berpengaruh pada realisasi lifting migas.
“Kami sih tidak berharap wave ke 2 ada pengaruhnya,” ujar Susana singkat saat dihubungi Kontan.co.id.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News