kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.351.000   3.000   0,13%
  • USD/IDR 16.757   31,00   0,19%
  • IDX 8.434   63,76   0,76%
  • KOMPAS100 1.170   10,48   0,90%
  • LQ45 852   7,90   0,94%
  • ISSI 295   2,44   0,83%
  • IDX30 445   2,22   0,50%
  • IDXHIDIV20 513   3,79   0,74%
  • IDX80 132   1,10   0,84%
  • IDXV30 137   0,57   0,42%
  • IDXQ30 141   1,12   0,80%

Proyek Hilirisasi Inalum Gandeng Danantara, Garap SGAR II Hingga Smelter Aluminium


Senin, 17 November 2025 / 11:15 WIB
Proyek Hilirisasi Inalum Gandeng Danantara, Garap SGAR II Hingga Smelter Aluminium
ILUSTRASI. Saat ini, Inalum menggarap empat proyek utama dalam rencana pengembangan hilirisasi dan ekspansi kapasitas produksi.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum ingin memacu proyek hilirisasi mineral bauksit menjadi aluminium. Inalum menggarap empat proyek utama dalam rencana pengembangan hilirisasi dan ekspansi kapasitas produksi.

Pertama, fasilitas Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase I yang berlokasi di Mempawah, Kalimantan Barat. Fasilitas SGAR ini berada di bawah PT Borneo Alumina Indonesia (BAI), kongsi antara Inalum dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) alias Antam.

Fasilitas SGAR Fase I memiliki kapasitas 1 juta ton alumina, yang sedang dalam tahap commissioning. Inalum menargetkan SGAR Fase I bisa mencapai operasi komersial atau Commercial Operation Date (COD) pada akhir tahun 2025.

Direktur Pengembangan Usaha Inalum, Arief Haendra mengungkapkan pada 21 April 2025 PT BAI telah melakukan pengiriman pertama atau trial shipment sebanyak 21.000 ton alumina ke smelter aluminium yang berada di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Pasokan dari fasilitas SGAR Fase I ini membuat Inalum tak perlu lagi mengimpor alumina.

Baca Juga: Begini Progres Terbaru Proyek Emas Pani Milik Merdeka Gold Resources (EMAS)

"Sudah enam kapal kami pakai, sehingga Inalum yang dulu  impor, mulai bulan Juli sudah nggak impor. Kami pakai alumina produksi dari PT BAI untuk dikirim ke Kuala Tanjung," ungkap Arief dalam diskusi Outlook Industri Aluminium yang digelar oleh Forum Wartawan Industri (Forwin) pada Jumat (14/11/2025).

Tak berhenti di SGAR Fase I, Inalum dan Antam segera menggarap proyek SGAR Fase II. Arief menyampaikan proses bankable feasibility study akan rampung pada bulan ini, sehingga Final Investment Decision (FID) ditargetkan akan tercapai pada Desember 2025.

Pembangunan fasilitas SGAR Fase II dijadwalkan mulai berlangsung tahun depan untuk bisa mengejar target COD pada akhir 2028 atau awal tahun 2029. Adapun, investasi untuk proyek ini mencapai US$ 700 juta - US$ 800 juta, atau setara dengan Rp 11,71 triliun - Rp 13,38 triliun.

Invetasi ini terbilang besar lantaran perlu pembangunan infrastruktur untuk melengkapi fasilitas produksi, termasuk infrastruktur pelabuhan dan logistik. Arief bilang, akan ada kontribusi dari Danantara untuk memenuhi kebutuhan investasi tersebut.

Tapi, Arief belum merinci porsi investasi dari Danantara. Jika kucuran dana dari Danantara belum cukup, Inalum membuka opsi untuk menggalang pinjaman.

"Iya, rencananya Danantara akan berperan, nanti besarnya bagaimana sedang kami bicarakan. Kalau kurang, pasti ada pinjaman, supaya laverage kami naik, karena kami akan bangun smelter juga," terang Arief.

Fasilitas SGAR Fase II ini dirancang untuk mencapai kapasitas produksi 1 juta - 2 juta ton alumina. Dengan asumsi tambahan 1 juta ton, maka Inalum bisa mengamankan pasokan alumina sebesar 2 juta ton dari fasilitas SGAR Fase I dan II.

Baca Juga: Arus Kas Menguat, Multitrend Indo (BABY) Siap Bertransformasi

Penambahan kapasitas alumina ini penting untuk menyokong proyek ketiga Inalum, yakni pembangunan smelter aluminium baru. Proyek ini ditargetkan COD pada tahun 2028, dengan kapasitas produksi 600.000 ton aluminium.

Smelter aluminium baru ini akan membutuhkan pasokan sekitar 1,2 juta ton alumina, yang akan dipasok dari fasilitas SGAR Fase I dan II. "Lalu 800.000 ton atau berapa pun kelebihannya akan kami pakai untuk (smelter aluminium Inalum) di Kuala Tanjung," terang Arief.

Arief mengungkapkan bahwa tiga proyek Inalum di Mempawah - Kalimantan Barat merupakan integrasi dari hulu - hilir. Mulai dari bauksit, refinery alumina hingga smelter aluminium. Dalam membangun kawasan terintegrasi ini, Arief menyoroti tantangan dari sisi energi kelistrikan.

Arief bilang, di wilayah tersebut masih belum ada pembangkit listrik tenaga air. Sedangkan dalam rencana penyediaan tenaga listrik, penggunaan energi nuklir baru direncanakan pada tahun 2045 - 2050. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, Inalum pun membuka opsi untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 1 Gigawatt.

Menurut Arief, pembangunan PLTU masih bisa mendapatkan izin untuk memenuhi kebutuhan Proyek Strategis Nasional (PSN). Hanya saja, Inalum akan lebih memilih untuk membeli listrik lewat power purchase agreement selama 30 tahun.

"Kami berharap tidak membangun PLTU, tapi membeli listrik, siapa pun yang memasok silakan, kami nanti akan beli," kata Arief.

Selanjutnya, proyek keempat Inalum adalah Potline 4, untuk melengkapi revamping existing plant yang telah ada di Kuala Tanjung. Potline 4 ini akan memiliki kapasitas 100.000 ton aluminium, yang bisa ditingkatkan menjadi 200.000 ton.

Melalui proyek ini, nantinya Inalum bisa memproduksi lebih dari 400.000 ton aluminium dari smelter Kuala Tanjung. Dengan sumber energi yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Arief menyebut bahwa aluminium yang dihasilkan oleh smelter Kuala Tanjung dikategorikan sebagai green aluminium. 

Baca Juga: Chandra Asri (TPIA) Raih US$ 750 Juta untuk Akusisi SPBU ExxonMobil di Singapura

Di samping meningkatkan nilai tambah di dalam negeri melalui hilirisasi, Inalum mengejar peningkatan kapasitas produksi untuk menangkap peluang dari prospek industri aluminium. Inalum memprediksi konsumsi aluminium Indonesia akan meningkat sekitar 600% dalam 30 tahun ke depan.

Kebutuhan untuk pengembangan eksositem kendaraan listrik (EV) serta energi baru dan terbarukan, akan turut mendorong kebutuhan aluminium. Di samping industri konstruksi, otomotif, listrik, kemasan dan permesinan yang selama ini menjadi pasar utama bagi produk aluminium.

Di sisi lain, Arif menggambarkan tingkat pemanfaatan aluminium masyarakat Indonesia masih sekitar 1,5 kg per kapita per tahun.  Jauh lebih rendah dibandingkan negara maju seperti Eropa dan China yang sudah mencapai 20 kg per kapita per tahun.

Salah satu cara mendongkrak permintaan adalah dengan menjadikan aluminium sebagai produk substitusi, seperti untuk barang dari kayu dan plastik. "Perlu menaikkan demand, misalnya berpindah dari penggunaan plastik dan kayu ke aluminium. Selama masih banyak kayu tidak berizin, harganya akan murah, orang akan tetap pakai. Tapi kalau kayu ilegal diberantas,aluminium akan meningkat," terang Arief.

Arief melanjutkan, pada tahun ini harga aluminium naik ke level US$ 2.800 per ton. Harga aluminium terkerek oleh substitusi barang dari tembaga, seperti untuk kabel listrik. Sebab, harga tembaga sedang naik tinggi karena ada gangguan produksi di Freeport dan tambang di Chile.

Arief memperkirakan pada tahun 2026, harga aluminium masih bisa bertengger di sekitar level saat ini. Namun, jika pasokan dan harga tembaga telah ternormalisasi, harga aluminium kemungkinan akan ikut tertarik ke level US$ 2.600 - US$ 2.700 per ton.

Secara kinerja, kenaikan harga aluminium akan berdampak positif untuk mengerek pendapatan Inalum. "Kalau persentase (kenaikan harga aluminium) 5%, ya naik 5%-an (pendapatan Inalum), karena kan tidak menambah biaya," tandas Arief.

Selanjutnya: Utang Luar Negeri Indonesia Turun Menjadi US$ 424,4 Miliar Pada Kuartal III 2025

Menarik Dibaca: BCA Hadirkan myBCA di Smartwatch, Transaksi Pembayaran Lewat Jam Pintar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×