kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rame-rame menolak cukai kemasan


Rabu, 20 April 2016 / 11:00 WIB
Rame-rame menolak cukai kemasan


Reporter: Issa Almawadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Rencana pemerintah memungut cukai atas kemasan plastik memantik penolakan keras. Tak hanya oleh industri pengguna plastik, produsen plastik juga menolak rencana beleid ini.

Total kopral, ada 16 asosiasi pengusaha yang Selasa (19/4) lalu, sepakat menolak rencana Kementerian Keuangan (Kemkeu) itu. Antara lain: Asosiasi Industri Roti, Biskuit, dan Mie Instan Indonesia (Arobim), Asosiasi Industri Pengolah Susu (AIPS), Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Federasi Pengemasan Indonesia (FPI), hingga Pengembangan Kerajinan Rakyat Indonesia (Pekerti).

Alasannya: pertama, pungutan cukai atas kemasan plastik tak sesuai dengan UU 39/2007 tentang Cukai. "Dari aspek lingkungan, kemasan plastik bisa didaur ulang dan menjadi bahan baku dan energi," kata Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat.

Alhasil, prinsip cukai lantaran efek negatif tak serta merta bisa dikenakan. Kedua, efek pengenaan cukai akan menurunkan produksi plastik dan penggunaan plastik. Kenaikan harga plastik 5% akibat adanya pungutan cukai semisal, akan menurunkan permintaan plastik sebanyak 8,5%.

Ketiga, cukai dalam kemasan plastik bisa menurunkan daya saing produk Indonesia dengan produk impor yang tidak kena cukai plastik. Keempat, cukai dalam kemasan plastik juga akan menyebabkan harga produk yang memakai kemasan plastik naik sehingga bisa mengerek inflasi.

Atas dasar ini, "Pengenaan cukai plastik tidak tepat," kata Rachmat. Saat ini, industri makanan dan minuman menjadi pengguna plastik terbesar dengan pemakaian mencapai 2,86 juta ton per tahun. Angka ini setara 65% dari total penggunaan plastik nasional yang mencapai 4,4 juta ton per tahun.

Fajar Budiono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin Aromatik & Plastik Indonesia (INAPLAS) menyebut, dengan harga mencapai US$ 2.000 per ton, nilai plastik untuk makanan dan minuman bisa US$ 5,7 miliar atau Rp 71,5 triliun. "Dampaknya besar jika harga jual juga naik," kata Fajar.

Pengusaha menilai, pemerintah hanya melihat potensi penerimaan negara dari kemasan plastik, namun tak melihat kenaikan harga barang serta inflasi. Dalam hitungan KONTAN, jika 2,86 juta penggunaan plastik dipakai untuk botol saja bisa menggaruk potensi penerimaan menggiurkan.

Dengan asumsi tiap botol butuh 100 gram plastik, tiap 1 ton plastik menghasilkan 10.000 botol. Alhasil, penggunaan 2,86 juta ton plastik bisa setara dengan 2,86 miliar botol. Dengan asumsi cukai per botol Rp 200, maka potensi penerimaan negara bisa sampai Rp 5,72 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×