Reporter: Handoyo | Editor: Fitri Arifenie
JAKARTA. Ratifikasi kesepakatan pengendalian perdagangan tembakau dan rokok atawa Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) menjadi ancaman untuk petani tembakau dan cengkeh di dalam negeri.
Abdus Setiawan, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengatakan, selama ini penggunaan tembakau masih digunakan untuk industri rokok. Petani tembakau khawatir, penerapan kebijakan tersebut akan menenggelamkan produksi dalam negeri.
Sayang, Abdus tidak menyebutkan secara rinci berapa besar potensi penurunan produksi tembakau di dalam negeri jika Indonesia jadi meratifikasi persetujuan FCTC. Yang jelas, "Dalam jangka panjang, Indonesia akan menjadi negara net importir," kata Abdus, kemarin.
Tahun lalu, luas areal perkebunan tembakau dalam negeri diperkirakan mencapai 200.000 ha dengan produksi nasional rata-rata 200.000 ton per tahun. Setidaknya lebih dari 90% tembakau yang dihasilkan di dalam negeri digunakan sebagai bahan baku rokok dalam negeri.
Soetardjo, Ketua Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), menambahkan jutaan petani cengkeh bisa menganggur karena kebijakan tersebut.
Catatan saja, setiap tahun rata-rata produksi cengkeh dalam negeri mencapai kurang lebih 90.000 ton kering. "Produksi cengkeh kita 90% digunakan untuk rokok kretek, sedangkan sebagian kecil dimanfaatkan industri parfum, obat dan bumbu masak," ujar Soetardjo.
Menurut Soetardjo tidak mudah bagi petani untuk konversi ke tanaman lainnya. Misalnya di wilayah Sulawesi, Maluku Utara dan Flores. Ketiga wilayah tersebut dikenal sebagai daerah penghasil rempah dan memasok 75% produksi dalam negeri. Selain kondisi geografis yang tidak memungkinkan, keuntungan yang didapat para petani bila mengalihkan ke tanaman lain juga relatif lebih rendah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News