Reporter: Filemon Agung | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta meninjau ulang atau mengevaluasi Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) perusahaan smelter timah.
Permintaan ini disampaikan Babel Resource Institute (BRiNST) menyusul tingginya angka ekspor timah dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur BRiNST Teddy Marbinanda mengungkapkan, dugaan pelanggaran hukum menguat karena tingginya ekspor timah ini dinilai tidak selaras dengan besaran luasan lahan sejumlah perusahaan.
Menurutnya, eksploitasi yang tak bisa dikendalikan akan berdampak buruk pada bisnis pertimahan nasional.
"Ekspor timah yang jor-joran menjadi sorotan apalagi praktik penambangan timah secara ilegal dan jual beli timah di kalangan koletor atau pengepul timah ilegal masih terjadi di Bangka Belitung," ungkap Teddy dalam siaran pers, Rabu (6/9).
Baca Juga: Penurunan Harga Komoditas Menekan Laba Emiten Tambang BUMN
BRiNST mencatat, ekspor timah Indonesia pada tahun 2022 lalu mencapai 74.408 MT, dengan rincian 19.825 MT bersumber dari PT Timah Tbk (TINS) dan 54.255 MT dari private smelter.
Adapun, pada Semester 1 tahun 2023, BRiNST melihat kecenderungan yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah ekspor tidak akan banyak berbeda.
Berdasarkan data hingga Juni 2023 yang diolah BRiNST dari Kementerian Perdagangan, ekspor timah dari Indonesia mencapai 31.876,56 MT, sebagian besar ekspor tersebut berasal dari smelter swasta.
Pada semester 1 tahun 2023, PT Timah Tbk selaku pemilik konsesi terbesar di Indonesia mengekspor 8.307 MT timah, sedangkan smelter swasta mengekspor 23.570 MT.
Sebelumnya, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BKPK) pada tahun 2022 lalu menilai perlu adanya pembenahan tata kelola industri timah dalam negeri seiring adanya potensi kerugian negara Rp 2,5 Triliun dari pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah operasi PT Timah Tbk (TINS).
Baca Juga: Laba Timah (TINS) Anjlok, Simak Rekomendasi Sahamnya
Temuan yang didapati oleh BPKP ini seharusnya dicermati oleh pihak-pihak terkait termasuk Aparat Penegak Hukum (APH).
"RKAB yang dikeluarkan perlu dilakukan evaluasi. Dalam penerbitan RKAB tentunya harus berdasarkan pada tahapan eksplorasi yang benar, sehingga bisnis pertambangan yang adil dan bertanggung jawab dapat terwujud di Bangka Belitung," sambung Teddy.
Teddy menambahkan, merujuk data Kementerian Keuangan Republik Indonesia, ekspor timah mengalir deras dari perusahaan smelter timah yang hanya memiliki IUP di bawah 10.000 hektar, bahkan ada yang di bawah 1.000 hektare.
Menurut Teddy, kuota ekspor yang diberikan sangat erat kaitannya dengan persetujuan RKAB yang diberikan oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Mineral Batubara, Kementerian ESDM.
Apalagi, baru-baru ini terungkap dugaan korupsi pertambangan yang terjadi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Antam, Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kondisi ini dinilai bisa saja terjadi di Bangka Belitung.
Dalam kasus tersebut RKAB yang diberikan oleh Kementerian ESDM kepada perusahaan swasta ternyata tanpa evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan.
Baca Juga: Harga Logam Industri Tertekan Perlambatan Ekonomi China
Padahal, perusahaan tersebut tidak mempunyai deposit/cadangan nikel di Wilayah Izin Usaha Pertambangan tersebut.
Teddy menjelaskan, dari kasus tersebut beberapa perusahaan lain turut mendapatkan kekayaan negara berupa bijih nikel milik negara (PT Antam).
Penyederhanaan aspek penilaian RKAB perusahaan pertambangan, hal itu sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor: 1806K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018, rentan disalahgunakan.
"Belajar dari kasus tersebut, RKAB Bangka Belitung perlu dilakukan peninjauan ulang. Riset yang dilakukan oleh BRiNST, penambangan ilegal di konsesi PT Timah Tbk maupun hutan negara, dinikmati oleh perusahaan-perusahaan yang tak patut mendapatkannya. Akibat korupsi SDA tentunya akan merugikan masyarakat Bangka," kata Teddy.
Menurtunya, praktik ini berdampak pada sisi ekonomi dan lingkungan Belitung.
Untuk itu, pihaknya meminta adanya penindakan hukum untuk menghindari kerugian negara karena praktik penambangan timah secara ilegal.
Kementerian ESDM pun diminta melakukan evaluasi dan mengkaji ulang RKAB perusahaan pertambangan timah di Indonesia.
Baca Juga: Hilirisasi Hasilkan Cuan Gede, Ekonom Berikan Sejumlah Catatan
Menurutnya, kasus dugaan korupsi pertambangan yang terjadi di wilayah IUP Antam yang saat ini ditangani Kejati Sulawesi Tenggara karena Penyederhanaan aspek penilaian RKAB dapat menjadi rujukan hukum atas kebijakan tersebut.
Selain itu, PT Timah Tbk pun didorong melakukan upaya pembenahan internal untuk selektif mengeluarkan kerjasama kemitraan dan mengawasi secara ketat kegiatan kemitraan yang menggarap wilayah produksi mereka.
"Hal ini untuk meminimalisir kebocoran bijih timah ke pihak lain," pungkas Teddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News