Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi investasi energi baru terbarukan (EBT) pada awal tahun ini diproyeksikan masih sepi. Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan belum adanya lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN menjadi beberapa penyebab realisasi investasi EBT hingga kuartal I-2024 ini masih belum terlihat menjanjikan.
Melansir data Kementerian ESDM sampai dengan November 2023, realisasi investasi Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) baru mencapai US$ 1,17 miliar atau 64,49% dari target yang senilai US$ 1,8 miliar.
Menurut data yang sama, di 2022, sejak 2017-2022 tren investasi EBTKE bergerak cukup fluktuatif di kisaran US$ 1,36 miliar sampai US$ 1,96 miliar. Perinciannya, realisasi EBTKE di 2017 senilai US$ 1,96 miliar, kemudian 2018 senilai US$ 1,53 miliar, 2019 senilai US$ 1,71 miliar, 2020 senilai US$ 1,36 miliar, 2021 senilai US$ 1,55 miliar, dan 2022 senilai US$ 1,55 miliar.
Baca Juga: Diversifikasi Bisnis, Bukit Asam (PTBA) Gencar Kembangkan PLTS dan Melirik PLTB
Memang, belum ada data resmi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga kuartal I-2024, namun beberapa penyebab realisasi investasi EBT di awal tahun ini masih sepi layak dicermati.
"Masih belum dihitung, angkanya belum keluar, coba nanti habis lebaran ya," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi (Dirjen EBTKE) Eniya Listiani Dewi, saat ditemui KONTAN di Jakarta, Jumat (5/4).
Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat investasi energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia tahu ini diprediksi akan lebih tinggi dibandingkan 2023 karena banyaknya proyek-proyek besar yang akan dieksekusi tahun ini.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, target investasi energi terbarukan Kementerian ESDM tahun ini mencapai US$ 2,6 miliar, lebih tinggi dari pencapaian tahun lalu.
"Kalau melihat perkembangan hingga kuartal I-2024 di mana belum terlihat ada realisasi investasi pada proyek energi terbarukan yang besar dari PLN, dan tahun lalu juga belum adanya lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN yang besar yang bisa terealisasi di tahun ini, ditambah dengan pelaku usaha yang wait and see karena pemilu dan mungkin menunggu kabinet baru, maka saya agak pesimis target ini bisa tercapai," ungkap Fabby saat dihubungi KONTAN, beberapa waktu lalu.
Senada, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna menuturkan, mengingat Pemilu baru saja usai, bisa jadi realisasi investasi EBT angkanya relatif rendah dengan sebagian pihak menunggu kepastian investasi.
"Harus menunggu angka resmi ESDM, tapi diharapkan bisa meningkat setelah kepastian pasca pemilu," ujar Putra saat dihubungi KONTAN.
Menurut Putra, tantangan realisasi investasi EBT utamanya tentunya kelebihan kapasitas PLTU dan keuangan PLN, tapi turunannya adalah belum adanya pelaksanaan pengadaan EBT yang konsisten.
Saat ini cofiring biomassa tampak dijadikan jalan pintas, meski seberapa efektif pengurangan emisinya dan keekonomiannya dalam skala besar masih tanda tanya.
Sementara itu, Ketua Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma mengungkapkan, investasi energi terbarukan dalam beberapa tahun terakhir ini mengalami tantangan yang cukup kuat yang pada awalnya disebabkan oleh perlakuan usaha yang tidak setara dengan energi fosil. Tetapi sejak adanya tekanan ekonomi pasca Covid-19, maka pertumbuhan energi juga menurun yang berdampak pada supply listrik yang berlebihan.
Baca Juga: Pertamina NRE Siap Pasok Energi bersih Selama Lebaran 2024
Kondisi ini, kata Surya, makin diperparah karena pembangunan PLTU yang terus berjalan walaupun kondisi over supply listrik belum terserap dengan baik oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang selaras.
Selain itu, kondisi ini semakin terlihat dari realisasi investasi EBTKE yang berkurang sampai 6,3% pada tahun lalu. Penurunan ini juga diperparah oleh kebijakan yang tidak terlihat realisasinya pro pada pengembangan ET.
Surya menuturkan, keluhan adanya kebijakan yang tidak pro pada ET sangat banyak disuarakan oleh para pengusaha yang eksisting maupun pengusaha baru. Kebijakannya tidak selaras antara target KEN dan langkah-langkah taktis yang dilaksanakan untuk mendukung pengembangan ET. Bahkan yang terlihat justru pemerintah berupaya menurunkan target ET pada tahun 2025 dari 23% menjadi hanya 17-19%.
"Jika hal ini dilakukan, akan semakin memperlihatkan bahwa upaya memenuhi target KEN tidak serius dilakukan pemerintah," kata Surya kepada KONTAN.
Apabila kondisi ini tidak diperbaiki, lanjut Surya, maka tahun ini pasti tren realisasi juga akan semakin menurun. Ia mencotohkan realisasi kebijakan yang dilaksanakan dalam rangka mendorong pemanfaatan PLTS Atap, malah menerbitkan Permen ESDM yang baru yang dipandang tidak terlalu mendukung pemanfaatan PLTS Atap yang selama ini sudah menarik, tetapi tidak direalisasikan sepenuh hati.
"Kini malah peraturannya yang diganti dengan peraturan yang mendapatkan banyak keluhan dari stakeholder yang mengusulkan untuk kembali ke Permen ESDM yang lama," tutur Surya.
Dari beberapa studi dan kajian dari ICRES, untuk mendorong pengembangan ET memang diperlukan kepastian kebijakan hukum dalam melakukan usaha, perlu regulasi yang menarik seperti adanya UUET (bukan UU EBET sebagaimana yang berjalan saat ini), kebijakan harga yang perlu ditetapkan pemerintah dan menjamin memperoleh pengembalian usaha dengan margin yang wajar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News