Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan ekspor biodiesel ke Uni Eropa (EU) merosot hingga 70% akibat Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation-free Regulation/EUDR).
Sebagai informasi, EUDR merupakan rancangan regulasi yang dimiliki Uni Eropa yang bertujuan mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap 7 komoditas pertanian dan kehutanan, termasuk kelapa sawit.
Kewajiban ini untuk membuktikan bahwa barang yang masuk ke pasar Eropa merupakan barang yang bebas dari deforestasi.
Plt Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Jisman P Hutajulu menyampaikan tantangan pemanfaatan bioenergi tidak selalu datang dari dalam negeri, namun juga dari pasar luar negeri.
Baca Juga: Semakin Tinggi, Pemanfaatan Biofuel Diprediksi Capai 13,9 Juta KL di 2025
Sebagai contoh, Uni Eropa dengan berbagai cara mencoba mendiskriminasikan produk biofuel Indonesia melalui negatif campaign Renewable Energy Directive (RED).
"Kemudian ada juga tuduhan anti-dumping pengenaan biaya masuk tambahan atas produk bioenergi khususnya sawit. Yang terbaru adalah penerapan EUDR," ujarnya dalam acara Seminar Tantangan Industri Bioenergi di Jakarta, Selasa (27/2).
Adanya berbagai tantangan tersebut, Jisman mengemukakan, ekspor biodiesel menurun hingga 70%.
Direktur Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo menjelaskan, adanya pengenaan tambahan pajak yang tinggi membuat pengusaha mengurungkan rencananya menjual biodieselnya ke Eropa.
"Sebab pengenaan pajak tambahannya kisaran 15%-20%," jelasnya ditemui di sela acara yang sama.
Meski demikian, Edi menyatakan, capaian ekspor biodiesel di tahun ini diharapkan bisa sedikit meningkat dibanding tahun lalu.
Direktur KSIA Amerop Kementerian Luar Negeri, Nidya Kartikasari menyatakan, terjadi penurunan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa dampak dari berbagai regulasi yang ditetapkan Benua Biru.
"Ekspor biofuel terus mengalami penurunan dan belum pulih setelah imbas pandemi Covid-19," ujarnya.
Dari data Trademap menggambarkan ekspor produk sawit di 2022 sebesar US$ 89 juta atau merosot jauh dibandingkan realisasi ekspor 2018 sebanyak US$ 532,50 juta.
Baca Juga: Pertimbangkan Pasokan Bahan Baku, Pertalite Belum Akan Dihapus di Tahun 2024
Nidya menerangkan, kebijakan Eropa yang mendiskriminasi produk sawit Indonesia bisa berdampak pada nilai ekspor rata-rata minyak sawit senilai US$ 4 miliar.
Kebijakan ini juga turut mengancam ekspor produk komoditas lainnya. Misalnya saja pada produk karet, di mana saat ini penjualan sarung tangan karet ke luar negeri mulai melandai.
Dia memaparkan, salah satu tantangan regulasi EUDR ialah tuntutan ketelusuran (traceability).
Ketelusuran adalah kemampuan untuk melacak semua tahapan produk dari sumber bahan baku hingga menjadi barang jadi. Melalui traceability biasanya pembeli minyak sawit di Eropa ingin mengetahui dari mana sawit berasal, bagaimana sawit diproduksi. Seluruh rantai pasok harus memenuhi standar sustainbility yang ditetapkan.
Nidya bilang, untuk membuktikan ketelusuran membutuhkan dana yang besar.
"Kami mengkhawatirkan ketika Indonesia dikategorikan high risk, kebijakan EUDR ini akan berdampak pada petani kecil di mana lahan small holders kurang lebih 37%-41%," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News