Sumber: Kompas.com | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Kendati keanggotaan para pengembang dalam organisasi Real Estat Indonesia (REI) hanya bersifat tidak aktif, dan hanya kesamaan profesi, namun bila kedapatan berlaku "nakal", REI mengancam dengan sanksi pemecatan.
Hal tersebut diutarakan Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan REI Djoko Slamet Utomo, Sabtu (1/2). "Memang, keanggotaan berdasarkan niat masing-masing dan ketika menjadi anggota sistem yang mengikat mereka tidak berlaku aktif. Namun, para pengembang harus menerima konsekuensi pemecatan bila terbukti melanggar sistem," ujar Djoko.
Djoko menambahkan, REI mendidik anggotanya agar punya pemahaman yang sama, bahwa anggota tidak hanya mencari untung dalam bisnisnya mengembangkan properti. Melalui berbagai kegiatan usaha yang dilakukan, seharusnya mereka juga memberikan sumbangsih bagi masyarakat.
"Kalau ada sesuatu yang terjadi, kami pasti punya rambu. Pertama, etika Sapta Brata bahwa anggota REI dalam melaksanakan usahanya, senantiasa memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya," ujar Djoko.
Hanya, di sisi lain, Djoko tidak mengelak, bahwa asosiasi tidak serta-merta dapat mengekang, memvonis, dan menghukum anggotanya seberat mungkin, meski REI memiliki kekuasaan mengikat anggotanya.
Menurutnya, REI tentu tidak bisa menjatuhkan vonis secara hukum. Yang bisa dilakukan asosiasi adalah memberikan pembinaan, pemahaman, pelatihan, dan mediasi. Ketika terjadi kasus, mediasi dan advokasi adalah langkah aktif yang bisa diambil.
"REI sangat memiliki kekuasaan pada anggotanya, bahkan bisa kita lakukan pemecatan. Itu yang menjadi punishment. Kita akan mengevaluasi kinerjanya. Mungkin, di masa yang akan datang kita coba seperti di sektor mining. Kita beri tingkat kualitasnya. Mungkin itu juga akan mempengaruhi," ujar Djoko.
REI tidak sendirian. APERSI sebagai salah satu asosiasi profesi di bidang yang sama juga memberikan hukuman terberat bagi anggotanya berupa pemecatan. Namun begitu, Djoko menggarisbawahi bahwa hukuman yang terberat sebenarnya bukan berasal dari asosiasi, namun lebih ke masyarakat, baik itu rekan sejawat maupun konsumen.
Citra buruk di mata pengembang lain, perbankan, maupun calon konsumen tentu menutup kesempatan pengembang. "Kami akan bawa keputusan akhir di tangan Dewan Kehormatan. Kalau kriteria sudah dianggap tidak sesuai, bisa dicoret. Tapi, mungkin di masyarakat pun tercipta efek jera," ujarnya.
Djoko kembali menegaskan bahwa pihaknya lebih memfokuskan diri pada mediasi ketimbang menjatuhkan sanksi. "Organisasi tempat mediasi, bukan punishment. Kami menyelesaikan dengan solusi, tidak dengan konflik," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News