Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Pengembang tak serta merta sambut gembira keputusan Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) yang menaikkan batas maksimal harga rumah bersubsidi. Rumah bersubsidi ini dikenal dengan rumah yang dapat fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Padahal, sebelumnya, persyaratan FLPP ini dikeluhkan pengembang.
Seperti dikutip dari situsnya, Kemenpera telah merilis Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) Nomor 7 dan Nomor 8 Tahun 2012, sebagai pengganti Permenpera Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2012 tentang rumah subsidi atau rumah yang dapat kredit pembiayaan dengan dukungan FLPP.
Dalam beleid itu, Kemenpera menaikkan batas maksimal harga rumah FLPP untuk menjaga pasar perumahan tetap bergairah. Sebelumnya, harga rumah tapak dibatasi maksimal Rp 70 juta dan rumah susun Rp 144 juta.
Setelah direvisi, batas atas harga rumah tapak wilayah I Jawa, Sumatera, dan Sulawesi kecuali Jabodetabek menjadi Rp 88 juta per unit. Wilayah II Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) ditambah Jabodetabek, Bali, dan Batam Rp 95 juta per unit.
Yang paling mahal wilayah III Papua dan Papua Barat Rp 145 juta per unit. Sedangkan harga rumah susun dikerek menjadi Rp 216 juta per unit.
Di sisi lain, Kemenpera juga memotong target penyaluran FLPP tahun ini, dari semula 600.000 unit menjadi 240.000 unit. "Alasannya disesuaikan dengan kesiapan suplai dan permintaan pasar perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," ujar Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera Sri Hartoyo dalam layanan pesan singkatnya kepada KONTAN, Senin (4/6).
Kendati demikian, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo pesimistis akan keberhasilan FLPP tersebut. "Target tetap tidak akan tercapai," tegasnya kepada KONTAN, Senin.
Alasannya, tahun 2012 sudah berjalan enam bulan, sementara realisasi FLPP masih jauh dari target. Sri Hartoyo bilang, penyaluran FLPP sampai saat ini baru 10.000 unit, atau baru sekitar 4% dari target 240.000 unit.
Alasan lainnya, lanjut Eddy, Kemenpera tidak merevisi batas minimal luas lantai rumah FLPP yaitu tipe 36. Padahal sebagian besar pasokan rumah yang sudah terlanjur dibangun oleh pengembang justru lebih kecil dari tipe 36.
Sekadar mengingatkan, Apersi memutuskan untuk mundur dari FLPP bulan Februari lalu. Pada saat itu, ada sekitar 16.000 unit rumah tipe 36 ke atas dan 27.000 unit rumah tipe 36 ke bawah yang penjualannya tertunda. "Sekarang rumah tipe 36 ke atas tinggal separuh yang belum terjual, sedangkan tipe 36 ke bawah masih ada 15.000 - 20.000 unit lagi," jelas Eddy.
Apersi menjual rumah tipe 36 dengan harga Rp 80 juta. Meskipun saat ini harganya sudah memenuhi syarat, namun Apersi belum memastikan kembali bergabung dengan FLPP atau tidak. "Yang pasti kami akan menyelesaikan stok dulu. Kalau stok sudah menipis baru membangun lagi," ujar Eddy. Dia menargetkan seluruh stok habis terjual tahun ini.
Terhitung sejak bulan Februari sampai Mei, Apersi sudah membangun 12.000-an unit rumah subsidi non FLPP. Skema yang digunakan adalah Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) komersial dengan suku bunga 8,5%-9%. Selisih dari suku bunga FLPP yang besarnya 7,25% ditutup oleh Apersi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News