Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Perusahaan pupuk mengaku kecewa. Pelemahan rupiah hingga menembus Rp12.000 per US$ ikut menggerus keuntungan mereka. PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) mengaku berpotensi mengalami rugi hingga Rp 535 miliar. Kerugian muncul lantaran pergerakan nilai tukar rupiah membuat harga gas melonjak drastis.
Sekadar informasi, harga gas PKT yang saat ini dipakai sebagai bahan baku telah dipatok berdasarkan formula tiga bulan sebelumnya di level US$ 10-12 per mmbtu (mile mile british thermal unit). Pada asumsi awal, PKT mematok nilai tukar di kisaran Rp 9.100 - Rp 9.200. Perkiraan ini pun berubah drastis setelah dolar menembus Rp 12.000 per US$ . Dengan kebutuhan gas sebanyak 83,3 juta mmbtu per tahun.
"Setiap pelemahan rupiah Rp 100 basis poin per US$, PKT berpotensi merugi Rp15 miliar. Sebab, kami beli gas dengan dollar," ujar Direktur Keuangan PT Pupuk Kaltim Eko Sunarko, Kamis (20/11).
Komposisi biaya bahan baku gas terhadap total biaya produksi pupuk tak sedikit. Jumlahnya mencapai sekitar 60%. PKT membutuhkan gas sebanyak 83,3 juta mmbtu per tahun. Tak heran, pelemahan rupiah meningkatkan harga bahan baku. Dan sudah pasti, mempengaruhi laba secara total.
Akibat hal ini, Eko mengaku, perusahaannya menghitung ulang kembali keuntungan yang mungkin mereka raih. Setidaknya, mereka berharap meraih keuntungan seperti tahun lalu yakni sekitar Rp 680 miliar.
Padahal, semula laba ditargetkan tumbuh sekitar 10% dari tahun lalu. Eko mengakui, krisis finansial global yang memicu kekeringan likuiditas berdampak besar terhadap arus kas perusahaan. Di sisi lain, pelemahan rupiah yang terjadi begitu cepat tidak memungkinkan perseroan melakukan lindung nilai atau hedging. Ditambah, dukungan perbankan juga tak ada. Saat ini perbankan nasional tidak mau lama-lama hedging. Semula perbankan bersedia memberikan hedging sampai tiga bulan. Namun, satu bulan saja mereka saat sulit memenuhinya.
Direktur Utama PKT Hidayat Nyakman menjelaskan, setiap bulan PKT membutuhkan sedikitnya US$ 50 juta – US$ 60 juta untuk biaya produksi. Antara lain pembelian gas, komponen pabrik, dan membayar pinjaman dari lembaga keuangan asing. Namun, mereka mengaku kesulitan sebab saat ini perbankan lebih memperketat diri. "Sekarang ini mencari dolar sulit, mencari bank yang ikut mendanai juga sukar," ujarnya.
Perusahaan yakin, mereka baru dapat sedikit bernapas lega tahun depan. Sebab, pada Januari 2009 diperkirakan harga gas pada kontrak mereka bakal turun menjadi US$ 4,5-4,7 per mmbtu.
Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian (Depperin) Agus Tjhahajana mengakui, pelemahan rupiah terhadap US$ bakal mempengaruhi penurunan laba perusahaan-perusahaan manufaktur setidaknya pada kuartal IV 2008. Khususnya, mereka yang berbasis impor bahan baku. "Sebab, pelemahan rupiah akan memicu kenaikan harga jual, sedangkan daya beli justru menurun.
Situas saat ini dinilai sudah pernah terjadi pada 1998 lalu. Artinya, sektor industri manufaktur pernah mengalaminya sehingga industri seharusnya sudah bisa belajar banyak dari situasi lalu. Upaya menanggulanginya, pemerintah secepatnya berusaha mengamankan pasar domestik karena ekspor saat ini sulit. Selain itu, pemerintah akan menghilangkan segala sesuatu hal yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News