Reporter: Merlinda Riska | Editor: Anastasia Lilin Yuliantina
JAKARTA. Memerahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika serikat menjadi risiko bagi perusahaan properti. Utang perusahaan properti inilah yang kini tengah dipantau oleh Bank Indonesia.
Bukan apa-apa, perusahaan properti ini penghasilannya berbasis rupiah. Sementara kewajiban membayar utang dalam bentuk dollar. Walhasil ada risiko gagal bayar.
Kondisi ini diperparah dengan kondisi pasar properti yang tengah lesu. Maklum BI sengaja mengerem kredit pemilikan rumah (KPR) dengan menaikkan batas uang muka KPR atawa loan to value.
Sekretaris Perusahaan PT Modernland Tbk Cuncun Wijaya mengakui saat ini porsi utang dollar AS terhadap total utang Modernland adalah 80%. "Laba bersih saat ini turun karena ada beban bunga utang yang harus kami tanggung. Tahun lalu, kan belum ada beban bunga utang itu," ujar Cuncun kepada KONTAN, Rabu (29/10).
Beberapa utang denominasi dollar AS itu seperti utang obligasi yang terbit tahun 2013 senilai US$ 150 juta. Utang dengan jatuh tempo 2016 itu berbunga 11%. Ada pula utang obligasi global yang baru terbit Agustus 2014 sebesar US$ 190 juta. Utang bertenor lima tahun itu berunga 9,75%. Perusahaan berkode saham MDLN di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu berencana memakai obligasi Agustus 2014 itu untuk membayar obligasi 2013.
Namun Modernland mengaku telah mengantisipasi risiko pelemahan rupiah dalam utangnya yang berwujud dollar dengan lindung nilai atau hedging kurs. Sayang, perusahaan itu tak mau menyebutkan berapa patokan hedging kurs atas utangnya.
Beban utang valas itu ikut menggerus laba bersih Modernland di laporan keuangan September 2014. Laba bersih pada periode itu turun 25,47% menjadi Rp 537,81 miliar. Padahal pada periode yang sama tahun lalu masih tercatat Rp 721,62 miliar.
Hal senada dirasakan oleh, PT Pakuwon Jati Tbk. Dari total utang sekitar Rp 3,9 triliun per September 2014, sebesar Rp 2,39 atau setara US$ 200 juta dalam bentuk dollar AS. " Kami mengantisipasi dengan hedging tapi kami juga berharap pemerintah bisa membantunya dengan mengeluarkan kebijakan makro yang tepat," kata Minarto Basuki, Direktur Keuangan Pakuwon Jati, Rabu (29/10).
Tetap berekspansi
Meskipun permintaan perumahan susut dan menghadapi tekanan melemahnya rupiah, pengembang properti masih optimistis untuk ekspansi bisnis tahun depan.
Modernland misalnya masih tetap optimistis di akhir tahun ini angka pendapatan penjualan proyek alias marketing sales bisa terpenuhi. Perusahaan itu mengaku masih optimistis mengejar marketing sales sebesar Rp 3,8 triliun hingga akhir tahun.
Hingga September 2014, Modernlan telah mengumpulkan marketing sales Rp 2,3 triliun. Sementara berdasar laporan keuangan per September, pendapatan Modernland tumbuh 62,41% menjadi Rp 2,16 triliun.
Sementara Pakuwon menyatakan akan terus berekspansi meski gejolak nilai tukar dollar AS terhadap rupiah akan terus ada. Sebab, perusahaan itu optimistis dengan pemerintahan yang baru dan berharap pemerintah saat ini bisa meminimalisasi efek dari fluktuasi nilai tukar itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News