Reporter: Venny Suryanto | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rusia telah resmi mengibarkan bendera perang dengan Ukraina. Pemerintahan Putin telah mengakui dua republik separatis yang memproklamirkan diri di Ukraina Timur dan memerintahkan invasi skala penuh ke Ukraina. Perang Rusia-Ukraina ini akan semakin memukul ekonomi global yang saat ini masih berjuang untuk bangkit dari dampak pandemi Covid-19.
Menanggapi hal itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, sektor yang paling terdampak dari adanya perang tersebut adalah sektor keuangan.
“Rupiah sudah bergerak di Rp 14.500 dan melemah sehingga ini akan terus bergerak ke level Rp 15.000. Jika kondisi ekskalasinya semakin luas dan melibatkan banyak negara. Sehingga menyebabkan destabilitas dan tentu akan merugikan prospek pemulihan moneter di Indonesia,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Kamis (24/2).
Baca Juga: Lawan Invasi Rusia, Ukraina Beri Senjata kepada Semua Warga yang Maju Berperang
Di samping itu, dampak perang Rusia vs Ukraina juga akan meningkatkan inflasi dan meningkatkan biaya logistik yang akan jauh lebih mahal. Sehingga kebutuhan pokok turut akan meningkat dan daya beli masyarakat akan semakin rendah.
Bhima mengatakan, langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan antisipasi dengan melakukan penambahan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di mana sebagian dialokasikan untuk stabilitas harga pangan dan stabilitas harga energi.
“Karena ini akan mengancam stabilitas dan pemulihan ekonomi di 2022. Sehingga ketika pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi 5% maka harus dipastikan stabilitas kebutuhan harga pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai dan komoditas lainnya harus bisa terjaga sampai akhir 2022,” jelasnya.
Sementara itu, produk impor yang paling riskan adalah gandum atau serealia dari Ukraina dengan nilai impor mencapai US$ 710 juta. “Sehingga ini dikhawatirkan akan mempengaruhi stok gandum dan produsen makanan di dalam negeri,” katanya.
Selain itu, impor produk lainnya yang diperkirakan akan tergerus adalah impor besi baja dari Ukraina di mana produk ini menempati urutan yang tinggi dengan nilai impor sebesar US$ 214 juta.
Baca Juga: Konflik Rusia-Ukraina Bikin Harga Minyak Melonjak, Begini Tanggapan Pertamina
Meski demikian, Bhima melihay ada dua peluang yang dapat di ambil dan dilakukan pemerintah yakni pemerintah harus bisa melakukan intervensi dengan negara-negara yang sedang konflik khususnya Rusia dan Amerika serikat untuk duduk di Forum G20 membahas solusi dari konflik tersebut. “Karena Indonesia bisa menjadi penengah karena tidak memiliki konflik langsung terhadap Ukraina,” tuturnya.
Langkah kedua yakni menarik potensi investasi dari negara-negara konflik ke Indonesia seperti relokasi pabrik besi dan baja kemudian pabrik otomotif kepada para produsen yang berbasis di Rusia maupun di Ukraina untuk segera beralih ke Indonesia.
“Sehingga perlu juga disiapkan insentif khususnya. Ini adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk jangka waktu dekat,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News