Reporter: Nadia Citra Surya |
JAKARTA. Awal Mei lalu PT Sarinah telah melakukan penandatanganan MoU dengan sejumlah petani di lima desa di Sulawesi Tenggara untuk mendapatkan pasokan bijih kakao. Mereka sanggup menyediakan pasokan hingga 5.000 ton per tahun. Selain menyiapkan biji kakao, perusahaan pelat merah itu juga tengah menyiapkan infrastruktur pengolahan bijih kakao di Sulawesi Tenggara.
"Soalnya, selain BK tinggi, marjin ekspor bijih kakao juga sangat tipis," kata Direktur Keuangan dan Administrasi PT Sarinah, Anang Sundana.
Menurut Anang, margin ekspor bijih kakao maksimal hanya mencapai 5%. Sementara jika diolah, minimal menjadi fermentasi coklat, marginnya bisa naik menjadi 15% hingga 20%.
Asal tahu saja, ekspansi ke komoditi kakao ini dilakukan oleh Sarinah lantaran kontribusi pendapatan bisnis minuman keras terus mengempis sejak bertambahnya jumlah importir minuman beralkohol.
Sarinah memperkirakan investasi yang kudu disiapkan untuk membangun pabrik dengan skala produksi kecil hingga menengah dan dengan kebutuhan pengolahan yang tidak terlalu rumit, sekitar Rp 10 miliar. Sedangkan untuk pabrik dengan proyeksi pengolahan menjadi butter kakao atau pun kosmetika, investasinya diperkirakan minimal sebesar Rp 50 miliar.
Dengan investasi sebesar itu, Anang merasa harus berhati-hati dalam mengambil langkah. "Pasar ekspornya ke Asia dan Eropa sih terbuka lebar, tapi strategi produksinya yang harus hati-hati,"cetus Anang. "Soalnya, jika tak efisien, ongkos produksinya bisa memangkas margin," imbuhnya.
Anang menyebutkan, kontribusi dari sektor perdagangan ekspor sedikitnya bisa menyumbang laba Rp 1 miliar atau Rp 2 miliar dari proyeksi laba tahun ini yang dipatok sebesar Rp 25 miliar.
Tahun ini Sarinah memperkirakan total pendapatannya bisa mencapai Rp 500 miliar dengan laba bersih ditargetkan sebesar Rp 25 miliar. Meningkat dari pencapaian di 2009 yang membukukan omzet Rp 417 miliar dengan laba bersih Rp 8 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News