Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Azis Husaini
Blok Mahakam di Selat Makasar, Kalimantan Timur, sudah hampir 50 tahun dikuasai asing. Tidak salah jika PT Pertamina (Persero) berkehendak mengambilalih blok gas tersebut dari Total E&P Indonesie setelah masa kontraknya habis pada 2017. Cara ini legal dan tentu patriotik.
Ketidakjelasan siapa yang bakal menjadi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) di Blok Mahakam paska 2017 masih terus meruyak. Pemerintah hingga kini juga belum memutuskan siapa yang bakal menjadi kontraktor blok kaya gas tersebut pasca berakhirnya kontrak Total E&P di blok tersebut.
Berbagai pihak, dengan mengusung demi kedaulatan negara atas kekayaan alam Indonesia, mengusulkan agar Pertamina menjadi kontraktor di blok tersebut.
Itulah sebabnya, pada Oktober 2012 silam, sejumlah tokoh, seperti Chandra Tirta Wijaya, Marwan Batubara, Kwik Kian Gie, Sri Edi Swasono, Adiaksa Dault, dan Akbar Faisil, serta masih banyak lagi, meneken petisi kepada Presiden.
Isinya, mereka menuntut Blok Mahakam dikuasai kembali oleh negara. Dan kemudian diserahkan ke Pertamina dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di wilayah Kalimantan Timur setelah berakhirnya production sharing contract (PSC) oleh Total E&P Indonesie dan Inpex pada Maret 2017.
Para tokoh itu meminta pemerintah segera memutuskan status kontrak Blok Mahakam paling lambat 31 Desember 2012.
Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies (Iress) mengatakan, pengelolaan Blok Mahakam oleh negeri sendiri sejatinya merupakan bentuk kedaulatan negara. Maklum, ladang gas tersebut sudah hampir 50 tahun dikuasai perusahaan asing.
Karena itu, Marwan menyayangkan sikap pemerintah yang menunda keputusan status kontrak tersebut dengan alasan cadangan gas di Blok Mahakam yang mulai menipis.
Dia bilang, pemerintah tinggal menolak keinginan Total E&P yang ingin melanjutkan kontraknya dan tidak perlu meragukan kemampuan Pertamina untuk me ngelola blok tersebut. "Seharusnya, mulai 2012 lalu sudah ada keputusan dan di tahun ini Pertamina punya waktu untuk belajar mengelola blok tersebut agar produksinya bisa tetap terjaga," imbuhnya.
Namun, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudi Rubiandini justru meminta para pengamat berpikir rasional karena Blok Mahakam masih perlu kajian lebih dalam.
Di samping cadangan tinggal 2,03 triliun cubic feet (tcf), pemerintah juga harus memperbesar pemasukan negara dari bagi hasil produksi minyak dan gas. "Kita harus sedikit bersabar untuk kelola Mahakam. Jangan mengatasnamakan emosi atau nasionalisme secara sempit," ujarnya.
Ali Mundakir, Vice President Corporate Communications PT Pertamina mengatakan, pihaknya siap menjadi operator Blok Mahakam dan juga terbuka untuk bekerjasama dengan kontraktor migas lainnya.
Namun, Pertamina tidak berniat mengakuisisi Blok Mahakam sebelum masa kontrak habis (farm in). Pertamina yakin, pemerintah tidak akan memperpanjang kontrak Total E&P di Blok Mahakam.
Pertamina berharap, setelah blok tersebut sudah kembali ke negara, dapat menyerahkannya kepada Pertamina atawa secara farm out. "Kami bisa melakukan farm out untuk bermitra dengan perusahaan lain yang memiliki kemampuan dan memenuhi kualifikasi perusahaan, bisa saja Total atau Inpex," kata dia.
Dengan dikelola Pertamina, negara bisa mendapatkan manfaat jauh lebih besar dari blok tersebut. Ali menggambarkan, pendapatan dari produksi gas sebanyak 1.600-1.700 million metric standard cubic feet per day (mmscfd) seluruhnya akan masuk ke negara.
Memang, potensi penerimaan negara dari blok Mahakam bisa jauh lebih besar bila dikelola sendiri. Pertanyaannya, sebenarnya pemerintah yakin tidak, sih, dengan Pertamina. Jangan-jangan, keyakinan itu yang tidak ada. (Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News