Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan nuklir untuk sektor ketenagalistrikan semakin terang setelah Dewan Energi Nasional (DEN) mengumumkan struktur organisasi Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO).
Satya Widya Yudha, Anggota DEN menjelaskan, NEPIO merupakan organisasi yang dipersiapkan untuk melakukan studi hingga implementasi proyek pembangkit nuklir. Badan ini terdiri dari kelompok kerja (Pokja) yang diisi oleh anggota yang berlatar belakang spesifikasi keilmuan tertentu. Jadi tataran kebijakan menuju proyek nuklir akan diantar oleh NEPIO.
“Jika NEPIO sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) maka sudah ada keputusan nasional tentang percepatan pembangunan pembangkit nuklir,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (13/12).
Dia bilang NEPIO harus segera ada karena pembangunan pembangkit nuklir membutuhkan waktu yang panjang, bisa sampai 6 tahun sampai 7 tahun untuk persiapan hingga on stream.
Salah satu pertimbangan utama sebelum menggunakan nuklir ialah kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Jika pertumbuhan ekonomi tinggi, otomatis kebutuhan energi akan semakin besar.
Baca Juga: Alasan Organisasi Persiapan Pembangunan Pembangkit Nuklir (NEPIO) Diketuai Presiden
Di dalam skenario DEN yang nantinya akan diumumkan, ada dua skenario pertumbuhan ekonomi di 2060 yakni 5,2% dan 5,9%. Jika pertumbuhan ekonomi di 5,2% maka kebutuhan energi baru dan energi terbarukan (EBET) akan mencapai 60% dari energi primer. Sedangkan jika pertumbuhan ekonomi 5,9% maka EBET yang diperlukan sebanyak 61%.
Lewat skenario ini, ketika pertumbuhan ekonomi naik, demand listrik meningkat, maka dibutuhkan energi bersih yang bisa mendukung permintaan tersebut.
“Nuklir dipilih karena bisa beroperasi 24 jam sehingga energinya lebih stabil,” terangnya.
Salah satu teknologi yang menjadi sorotan DEN ialah Small Modular Reactor (SMR). Satya menilai, reaktor nuklir dengan kapasitas kecil yakni 20 Megawatt (MW) hingga 40 MW tidaklah rawan. “Ini bisa ditempatkan di pulau-pulau terisolasi,” ujarnya.
Maka itu tidak menutup kemungkinan, lanjut Satya, program penggantian Pembangkit Bertenaga Diesel (PLTD) di daerah terpencil bisa menggunakan reaktor nuklir dengan kapasitas kecil.
Perihal keekonomian harga listrik dari pembangkit nuklir, Satya menjelaskan, jika menggunakan teknologi baru diharapkan harga listriknya bisa kompetitif dibandingkan batubara.
Baca Juga: Organisasi Persiapan Pembangunan Pembangkit Nuklir (NEPIO) Diketuai Presiden
Dia mengungkapkan, selama ini batubara tidak memasukkan faktor eksternalitas seperti emisi dan kerusakan lingkungan dalam perhitungan harga listrik.
“Jadi kalo dibandingkan energi baru dengan energi fosil harus dimasukkan faktor kerusakan lingkungan. Sampai saat ini energi fosil belum ada faktor eksternalitas,” terangnya.
Jika faktor eksternalitas ini dimasukkan ke dalam formula perhitungan harga listrik batubara, kelak harganya baru bisa disandingkan dengan listrik dari energi baru energi terbarukan (EBET).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News