Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sejumlah emiten menjajaki peluang untuk menggarap bisnis pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Salah satu emiten yang merambah ke bisnis ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penunjang minyak dan gas, PT Radiant Utama Interinsco Tbk.
Direktur Utama RUIS, Sofwan Farisyi menyampaikan perusahaan tertarik masuk ke bidang renewable energy lantaran melihat 10 hingga 20 tahun ke depan pemakaian energi fosil akan menurun dengan adanya kesadaran tentang perubahan iklim.
“Kenapa PLTS, karena di Indonesia matahari bersinar hampir sepanjang tahun dengan waktu yang relatif sama 12 jam sehari,” ujarnya pada Kontan Jumat (12/7).
Tak hanya itu, bisnis ini dinilai menarik bila mendapatkan pasar yang tepat dan kontrak jangka panjang. Untuk melakukan investasi pembangkit listrik tenaga surya mereka memerlukan dana US$ 1 juta per MW.
Ia menyampaikan kendala dalam bisnis ini sendiri persaingan di Indonesia yang relatif ketat. “Peraturan pemerintah dengan memotong tarif jual ke PLN menjadi hanya 65% juga menjadi kurang mendukung,” imbuhnya.
Selanjutnya, sambung Sofwan, grid yang ada di PLN masih belum siap menerima listrik dari matahari karena intermitent. Kini mereka tengah mengkuti tender untuk beberapa proyek PLTS. Untuk bisnis solar panel RUIS sudah mendapatkan kontrak untuk pengerjaan pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 2 MW.
Sama halnya RUIS, PT Cikarang Listrindo Tbk juga sedang mengembangkan bisnis pembangkit listrik tenaga surya. Investor Relations and Corporate Finance Manager POWR, Baskara Rosadi Van Roo mengatakan kini masih dalam tahap awal dalam mengembangkan bisnis PLTS.
“Akan terus kami kembangkan ke depannya, sangat menjanjikan. Hal ini sejalan dengan komitmen kami terhadap sustainability development serta ekspansi perusahaan ke tenaga terbarukan,” ungkapnya.
Emiten bersandi POWR ini memiliki pilot project panel surya dengan kapasitas sekitar 52,5 kw. Ia juga tak menampik kemungkinan untuk mengembangkan bisnis ini ke seluruh wilayah Indonesia jika memang ada peluang.
Sebelumnya PT Mitrabara Adiperdana Tbk juga berencana masuk ke pembangkit listrik tenaga surya, kini mereka masih menunggu tender dari PLN yang sesuai. “Kami masih dalam proses feasibilty study, jadi kami masih belum bisa memutuskan kelanjutan project PLTS,” tutur Chandra Lautan, Sekretaris PT Mitrabara Adiperdana, Sabtu (13/7).
Sedangkan bagi perusahaan yang memang bergerak dalam bisnis pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT), yakni PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA) menilai kelebihan dalam menggarap PLTS ketimbang pembangkit EBT lainnya adalah masa kontruksi yang pendek, yakni hanya dalam jangka tiga hingga enam bulan.
Pada tahun ini TGRA juga mengincar beberapa proyek PLTS, salah satunya proyek PLTS dengan kapasitas 2x25 MW yang berlokasi di Bali. Sekretaris Terregra Asia Energy, Christin Soewito menuturkan ada satu PLTS rooftop yang beroperasi pada September tahun lalu. “September 2018 ada satu proyek waterboom di Bali, ini rooftop proyek dengan skema B2B dengan jangka waktu 20 tahun,” katanya.
Sementara untuk kendala di dalam negeri, ia bilang, peraturan pemerintah yang sampai saat ini masih dibahas. “(Untuk iklim investasinya) Kembali tergantung pada peraturan pemerintah terutama masalah besaran tarif,” tambahnya.
Tak hanya dalam negeri, mereka juga merambah bisnis PLTS di Australia, Jumat (12/7) kemarin mereka baru saja memulai operasi satu PLTS dengan kapasitas 5 MW. Saat ini TGRA mempunyai empat proyek PLTS di Australia dengan total kapasitas sebanyak 25 Megawatt (MW), pengoperasian PLTS itu dilakukan dengan skema penjualan langsung ke market.
Sedangkan ketiga proyek lainnya masih dalam proses pembangunan dan TGRA menargetkan commercial operatioan date atau operasi secara komersial pada tahun depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News