Reporter: Leni Wandira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menyoroti tren menurunnya kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dalam 15 tahun terakhir. Pangsa manufaktur yang pada 2010 masih sekitar 28%, kini merosot menjadi di bawah 19%.
Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, menilai kondisi tersebut menjadi alarm bagi perekonomian nasional. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan gejala deindustrialisasi dini, di mana Indonesia kehilangan momentum ekspansi manufaktur sebelum mencapai kematangan teknologi dan pasar.
"Sektor mebel dan kerajinan ikut terdampak karena biaya produksi tinggi, persaingan global, serta kebijakan yang belum sepenuhnya berpihak pada industri hilir,” ujar Abdul kepada Kontan, Minggu (17/8/2025).
Baca Juga: Pemerintah Dorong Industri Furnitur Jepara lewat Skema Kredit Industri Padat Karya
Meski kontribusinya relatif kecil dibanding sektor otomotif atau makanan-minuman, industri mebel dan kerajinan telah lama menjadi wajah ekonomi kreatif Indonesia.
Selama delapan dekade, sektor ini berperan penting dalam menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja, melestarikan budaya, hingga menyumbang devisa miliaran dolar dari ekspor ke lebih dari 150 negara.
"Produk kita dikenal dengan handmade excellence dan kekayaan material lokal, itu yang menjadi kekuatan diplomasi dagang Indonesia,” tambah Sobur.
HIMKI mencatat sejumlah faktor yang membuat industri mebel dan kerajinan sulit berkembang optimal, mulai dari tingginya biaya logistik dan energi, ketergantungan pada bahan baku impor, lemahnya akses pembiayaan, hingga regulasi yang belum terintegrasi antara hulu dan hilir.
Di sisi lain, pelaku industri juga menghadapi persaingan ketat dari negara tetangga seperti Vietnam, China, dan Malaysia yang menawarkan insentif ekspor lebih agresif. Kebijakan proteksionisme di negara tujuan ekspor pun kian menambah beban.
Baca Juga: Furnitur dan Dekorasi Rumah Raup Potensi Transaksi Rp 8,5 Miliar di Afrika Selatan
"Tarif bea masuk furnitur ke Amerika Serikat misalnya, bisa mencapai 19%. Sementara di Uni Eropa, standar lingkungan dan due diligence makin ketat,” jelas Sobur.
Meski tertekan, HIMKI melihat masih banyak peluang yang bisa dimanfaatkan lima tahun ke depan. Tren sustainability dan eco-friendly living membuka pasar baru untuk furnitur berbahan kayu legal, bambu, maupun rotan.
Selain itu, perjanjian perdagangan seperti Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) berpotensi memberi preferensi tarif bagi produk Indonesia.
“Pertumbuhan kelas menengah di Asia dan Timur Tengah juga membuka ruang permintaan produk furnitur dan dekorasi rumah yang berkarakter dan berkualitas. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa memenuhi standar internasional sekaligus menjaga daya saing harga,” katanya.
Untuk memperkuat daya saing, HIMKI menilai subsektor seperti rotan, bambu, furnitur kayu bersertifikat legal, kerajinan artistik, hingga produk berbasis desain kontemporer perlu menjadi fokus.
“Kita mendorong cluster industrialization di sentra produksi, memperkuat desain sebagai motor utama industri, serta memanfaatkan trade fair internasional sebagai ajang kurasi dan promosi,” ungkapnya.
HIMKI juga mengusulkan insentif fiskal serta skema pembiayaan yang lebih ramah bagi industri hilir, serta kebijakan bahan baku yang berpihak pada nilai tambah.
"Tanpa langkah strategis ini, kita berisiko kehilangan momentum. Padahal sektor mebel dan kerajinan bisa menjadi tulang punggung ekspor nonmigas yang berkelanjutan,” pungkasnya.
Selanjutnya: India Puncaki Daftar Miliarder Asing Terbanyak di AS 2025, Israel Kalah
Menarik Dibaca: Infinix Hot 30i dengan Prosesor Kencang,Smartphone Budget Hemat Kinerja Maksimal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News