kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.924.000   5.000   0,26%
  • USD/IDR 16.270   34,00   0,21%
  • IDX 7.097   49,71   0,71%
  • KOMPAS100 1.026   -3,02   -0,29%
  • LQ45 777   -8,81   -1,12%
  • ISSI 234   3,28   1,42%
  • IDX30 401   -4,82   -1,19%
  • IDXHIDIV20 462   -8,51   -1,81%
  • IDX80 115   -0,50   -0,43%
  • IDXV30 117   -0,60   -0,51%
  • IDXQ30 129   -2,45   -1,87%

Industri Manufaktur Antisipasi Tarif Trump: Pacu Diversifikasi Ekspor & Perkuat Pasar


Senin, 14 Juli 2025 / 07:56 WIB
Industri Manufaktur Antisipasi Tarif Trump: Pacu Diversifikasi Ekspor & Perkuat Pasar
ILUSTRASI. Industri manufaktur Indonesia memasang kuda-kuda untuk mengantisipasi dampak tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS)


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri manufaktur Indonesia memasang kuda-kuda untuk mengantisipasi dampak tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS). Pelaku industri di sejumlah sub sektor manufaktur berikhtiar untuk memacu diversifikasi ekspor sembari memperkuat pasar dalam negeri. 

Presiden AS Donald Trump mengenakan tarif tambahan sebesar 32% untuk produk dari Indonesia yang masuk ke Negeri Paman Sam. Jika tidak ada perubahan, tarif resiprokal ini akan berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Salah satu sub sektor manufaktur yang bakal terkena dampak adalah industri mebel dan kerajinan. Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengungkapkan AS menyerap sekitar 54% ekspor mebel dan kerajinan Indonesia.

Abdul memperkirakan nilai ekspor mebel dan kerajinan Indonesia mencapai US$ 1,5 miliar – US$ 1,7 miliar pada semester I-2025. Dari jumlah tersebut, lebih dari US$ 800 juta – US$ 900 juta berasal dari ekspor ke AS. Produk yang dominan diekspor adalah furnitur kayu, rotan, outdoor furniture, produk dekorasi, dan berbagai produk kerajinan tangan.

Abdul mengamini, ketergantungan pada satu pasar sangat riskan bagi keberlanjutan industri. HIMKI pun merancang strategi jangka pendek dan menengah dalam mendiversifikasi ekspor agar mempercepat substitusi pasar.

Baca Juga: Antisipasi Tarif Trump, Sektor Industri Manufaktur Memacu Ekspor di Luar AS

"HIMKI mencatat produk mebel dan kerajinan Indonesia telah menjangkau lebih dari 121 negara tujuan ekspor. Meski ekspor masih didominasi AS, potensi pertumbuhan di negara lain sangat terbuka lebar, terutama untuk produk dengan nilai tambah tinggi dan positioning premium.," ungkap Abdul kepada Kontan.co.id, Minggu (13/7).

HIMKI melirik peluang ekspansi ke kawasan Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, hingga Oceania melalui penetrasi produk premium dan niche market.

Berkaca dari situasi ini, Abdul menilai diversifikasi bukan sekadar strategi defensif, tetapi juga langkah progresif untuk menciptakan struktur ekspor yang lebih sehat dan tahan terhadap guncangan kebijakan dagang dari suatu negara.

"Strategi diversifikasi bukan hanya soal memperbanyak negara tujuan, tetapi juga peningkatan kualitas produk, cerita merek (brand story), efisiensi produksi, dan kecepatan respons terhadap tren pasar global," ungkap Abdul.

Sub sektor manufaktur lain yang mengandalkan pasar AS adalah industri alas kaki. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yoseph Billie Dosiwoda mengungkapkan AS menjadi pasar utama produk alas kaki Indonesia dengan nilai ekspor sekitar US$ 2,39 miliar pada tahun 2024. 

Sedangkan dalam ikhtiar mendiversifikasi pasar, Billie menyoroti pentingnya percepatan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa alias IEU-CEPA. Menurut Billie, Free Trade Agreement (FTA) penting untuk membuka akses pasar, sekaligus menjaga daya saing dengan negara-negara pesaing seperti Vietnam yang sudah punya perjanjian serupa.

Memperkuat Pasar Domestik

Tak cukup pada diversifikasi pasar ekspor, pada saat yang sama, pelaku usaha menilai perlu upaya untuk memperkuat industri dan pasar dalam negeri. Apalagi, sejumlah industri yang berorientasi ekspor tergolong padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

Billie mendorong adanya program insentif dari pemerintah serta reformasi struktural melalui pendekatan deregulasi. "Aprisindo mendorong pemerintah untuk terus memperbaiki iklim investasi yang kondusif dan kemudahan berusaha di dalam negeri, supaya bisa tetap kompetitif dengan ketidakpastian eksternal seperti ini," ungkap Billie.

HIMKI juga mendorong penguatan ketahanan pasar dalam negeri. Abdul mencontohkan China yang berani melakukan retaliasi terhadap tarif Trump, salah satunya karena China memiliki pasar domestik yang kuat.

"Indonesia harus bergerak ke arah serupa. Kita perlu memperkuat pasar domestik agar mampu menyerap 70%–80% kapasitas produksi nasional," ungkap Abdul.

Baca Juga: Industri Lesu, Target Kontribusi Manufaktur 20% terhadap PDB Berpotensi Tak Tercapai

Diversifikasi ekspor dan penguatan pasar dalam negeri juga menjadi perhatian industri baja. Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) M. Akbar Djohan mengungkapkan porsi ekspor produk baja ke pasar AS relatif mini, hanya sekitar 76.000 ton atau 0,7% dari total ekspor per kuartal I-2025.

Meski begitu, IISIA mewaspadai efek tidak langsung dari pengenaan tarif impor yang tinggi oleh AS. Sebab, sejumlah negara eksportir baja nantinya sulit bersaing untuk masuk ke pasar AS, sehingga berpotensi mencari pasar alternatif, salah satunya Indonesia.

IISIA pun mengusung dua strategi. Pertama, mendorong pelaku industri untuk memperkuat penjualan di dalam negeri, sekaligus mendorong industri hilir agar lebih banyak menggunakan produk baja nasional sebagai bahan baku dengan target substitusi impor minimal 20%–50% dari total impor. 

Kedua, diversifikasi pasar ekspor guna mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti AS, serta membuka peluang ke negara-negara non-tradisional yang memiliki potensi pertumbuhan permintaan.

"IISIA mencatat perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk fasilitasi akses pasar," ujar Akbar yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI).

Baca Juga: Ekspor Industri Manufaktur Indonesia Bisa Tertekan Tarif 32% dari Donald Trump

Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) punya sorotan serupa. Sekretaris Jenderal Gabel, Daniel Suhardiman menyampaikan porsi ekspor produk industri elektronik ke AS relatif kecil. Beberapa produk yang ekspor antara lain Air Conditioner (AC), printer, speaker dan small appliances.

Daniel turut mengingatkan pentingnya proteksi terhadap pasar dalam negeri dari limpahan produk yang nantinya sulit masuk atau bersaing di pasar AS. "Ancaman besarnya justru inflow barang-barang dari negara produsen seperti Tiongkok, Vietnam, Thailand masuk ke Indonesia," kata Daniel.

Daniel menegaskan perlunya memperkuat non-tariff measure melalui empat kebijakan. Pertama, akselerasi revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 21/2025, yang merupakan pemecahan Permendag  No. 8/2024 menjadi per-sektor.

Kedua, menghapus sistem post border dan memperketat kontrol border. Ketiga, pelabuhan entry point di Indonesia Timur. Keempat, memastikan pemerintah pusat dan daerah membeli produk-produk Tingkat Komponen Dalam Negeri sesuai dengan peraturan presiden.

Lanjut Negosiasi Tarif Trump

Meski menyiapkan strategi untuk diversifikasi ekspor dan penguatan pasar dalam negeri, tapi para pelaku industri tetap mendorong pemerintah untuk melanjutkan negosiasi dengan AS. HIMKI mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto memimpin langsung diplomasi untuk mendapatkan ruang negosiasi dengan hasil yang lebih optimal.

"Kami menyarankan dan mengusulkan agar Presiden memimpin langsung diplomasi ekonomi bilateral dengan AS, karena posisi sektor ini sangat strategis, baik dari sisi kontribusi ekspor utamanya serapan tenaga kerja nasional," ungkap Abdul.

Aprisindo juga berharap pemerintah bisa melanjutkan negosiasi. Billie mengingatkan, apabila kebijakan tarif tinggi ini diberlakukan secara penuh, tekanan terhadap sektor industri padat karya yang memiliki pangsa ekspor besar ke AS seperti alas kaki akan semakin besar. 

Jika tarif tinggi diberlakukan, para pembeli di AS akan mencari harga produk yang lebih murah dengan kualitas yang sama dari produk asal Indonesia. Dus, hal ini berpotensi memangkas permintaan dan akan menurunkan produksi dari industri manufaktur.

"Keberhasilan Indonesia dalam menavigasi isu ini akan sangat bergantung pada kekuatan economic diplomacy yang solid, terukur, dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang industri nasional," tandas Billie.

Selanjutnya: BMKG: Cuaca Ekstrem Masih Berpotensi Terjadi, meski Masuk Pertengahan Musim Kemarau

Menarik Dibaca: BMKG: Cuaca Ekstrem Masih Berpotensi Terjadi, meski Masuk Pertengahan Musim Kemarau

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×