Reporter: Vatrischa Putri Nur | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas sektor manufaktur Indonesia masih mengalami tekanan pada Juni 2025. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang dirilis oleh S&P Global tercatat sebesar 46,9 pada Juni 2025, turun dari 47,4 pada Mei 2025.
PMI Manufaktur Indonesia yang masih berada di bawah ambang batas netral 50,0 ini menunjukkan sektor manufaktur masih berada dalam fase kontraksi.
Merespon hal ini, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur membeberkan penyebab terjadinya kontraksi PMI Manufaktur ini, khususnya di sektor mebel dan kerajinan.
"PMI Manufaktur Indonesia yang kembali turun ke 46,9 pada Juni 2025 menegaskan bahwa sektor industri masih menghadapi tekanan yang cukup serius," ujar Sobur kepada Kontan, Selasa (1/7).
Pertama, hal ini disebabkan oleh permintaan global yang melemah, khususnya dari pasar ekspor utama seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang masih terpengaruh kondisi geopolitik, tarif, dan penyesuaian inventori.
Baca Juga: Kemenperin dan Pelaku Industri Ungkap Penyebab PMI Manufaktur Juni Masih Kontraksi
Menurur catatan HIMKI, ekspor mebel dan kerajinan Indonesia sebagian besar ditujukan ke pasar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Pada tahun 2024 ekspor mebel dan Kerajinan Indonesia mencapai USD 2,6 miliar (Furniture/mebel US$ 1.93 miliar dan Kerajinan US$ 673,34 juta).
Untuk kelompok furniture/mebel 54% ditujukan ke pasar AS dan 20% ditujukan ke pasar Uni Eropa, sedangkan untuk kerajinan 41,5% ditujukan ke pasar AS dan 20,3% ditujukan ke pasar Uni Eropa.
Faktor kedua, biaya produksi yang tinggi, didorong oleh fluktuasi harga bahan baku, energi, dan beban logistik.
Ketiga, ketidakpastian kebijakan, termasuk transisi pemerintahan baru, harmonisasi kebijakan fiskal–moneter, serta penyesuaian kebijakan impor–ekspor yang memengaruhi kelancaran rantai pasok.
Sobur mengatakan bahwa pelemahan indeks PMI Manufaktur ini ternyata juga telah dirasakan oleh pelaku usaha di sektor mebel dan kerajinan, khusunya bagi mereka yang melakukan ekspor.
"Di sektor mebel dan kerajinan, tren pelemahan juga mulai terasa, terutama di pelaku ekspor. Beberapa produsen besar mencatatkan penundaan order dan revisi kuantitas pengiriman, akibat buyer utama menahan stok. Sementara pasar domestik masih relatif stabil, tetapi tertekan daya beli masyarakat," tambahnya.
Saat ini, ia memperkirakan rata-rata utilitas pabrik industri mebel dan furnitur nasional berada di kisaran 60–70%.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Terkontraksi Lagi Usai Turun ke Level 46,9 pada Juni 2025
Beberapa unit usaha besar yang bergantung pada ekspor ke AS bahkan turun di bawah 60%, sedangkan produsen yang fokus ke proyek domestik dan pasar ritel masih bertahan di kisaran normal.
Terakhir, HIMKI melihat beberapa sentimen yang bisa memulihkan PMI Manufaktur ke depan, antara lain:
- Kebijakan fiskal dan insentif bunga murah (di bawah 6%) untuk mendorong produksi, terutama sektor padat karya.
- Terbukanya pasar alternatif di emerging market, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika untuk menutup pelemahan pasar tradisional.
- Peningkatan kepercayaan investor seiring dengan stabilnya transisi pemerintahan dan komitmen pemerintah menjaga iklim usaha.
- Percepatan proyek strategis, misalnya pembangunan IKN dan realisasi belanja pemerintah yang mendorong permintaan furnitur domestik.
"HIMKI berharap pemerintah fokus menjaga daya saing ekspor lewat tarif preferensial, insentif logistik, dan deregulasi yang tepat sasaran, agar industri mebel dan kerajinan tetap menjadi penopang devisa dan lapangan kerja," pungkas Sobur.
Baca Juga: PMI Manufaktur Terus Kontraksi, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Diramal Makin Melemah
Selanjutnya: Sri Mulyani Perkirakan Anggaran Makan Bergizi Gratis Bisa Tembus 240 Triliun di 2026
Menarik Dibaca: 5 Cara Memperbaiki Tekstur Kulit agar Kembali Mulus
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News