Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kerjasama PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) untuk menggarap tambang emas Pani berada diujung tanduk. Kongsi dua emiten emas itu terancam kandas setelah anak usahanya terlibat sengketa.
Direktur MDKA Gavin Arnold Caudle dalam keterbukaan informasi yang disampaikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan bahwa pada 1 Februari 2021, salah satu anak usaha MDKA, PT Pani Bersama Tambang (PBT) telah menerima dokumen Respone to the Notice of Arbitration dari PT J Resources Nusantara (JRN), anak usaha PSAB.
Dokumen Respone to the Notice of Arbitration tersebut sehubungan dengan kasus No. ARB001/21/ARK antara PBT dan JRN pada Singapore International Arbitration Centre (SIAC), dimana PBT merupakan pihak penggugat (Claimant) terhadap JRN sebagai pihak tergugat (Respondent) sehubungan dengan pelaksanaan CSPA tanggal 25 November 2019 sebagaimana diubah pada 16 Desember 2019.
Pada arbitrase tersebut, PBT memandang bahwa JRN telah gagal untuk melakukan kewajibannya dalam memenuhi persyaratan-persyaratan pendahuluan yang diperlukan untuk penyelesaian CSPA dan meminta SIAC memutuskan bahwa JRN harus memenuhi seluruh kewajibannya berdasarkan CSPA atau membayar ganti kerugian kepada PBT dalam jumlah sekitar US$ 500 juta – US$ 600 juta. Belum ada pihak yang mengakhiri CSPA tersebut.
PSAB pun menjawab tudingan MDKA. Sebagai perusahaan induk JRN, Direktur Utama PSAB Edi Permadi menyampaikan sejumlah keterangan, yang menurutnya ditujukan untuk meluruskan pernyataan-pernyataan yang salah dalam keterbukaan MDKA.
Sebagaimana pengumuman bersama yang dibuat oleh PSAB dan MDKA pada 6 Januari 2020 lalu, Edi menjelaskan transaksi yang dimaksud dalam perjanjian jual beli saham bersyarat atau Conditional Shares Sale and Purchase Agreement (CSPA), tetap wajib memenuhi beberapa syarat pendahuluan, termasuk persetujuan dari para kreditur PSAB.
Baca Juga: Anak usaha digugat, ini jawaban J Resources (PSAB)
Menurut Edi, keterbukaan MDKA tersebut secara keliru menyatakan bahwa PBT mengklaim JRN telah gagal melaksanakan kewajibannya dalam memenuhi syarat-syarat pendahuluan, yang disyaratkan untuk pemenuhan CSPA tertanggal 25 November 2019 sebagaimana telah diubah pada 16 Desember 2019.
"Faktanya, CSPA tidak mewajibkan JRN untuk memenuhi syarat pendahuluan yang memerlukan tindakan pihak ketiga, dan PBT tidak mengajukan tuntutan tersebut dalam arbitrase," sebut Edi.
Kewajiban JRN terbatas pada penggunaan seluruh upaya yang wajar untuk memastikan bahwa syarat pendahuluan terpenuhi, tetapi JRN tidak berkewajiban untuk dan tidak dapat secara sepihak memenuhi syarat pendahuluan yang memerlukan tindakan pihak ketiga.
Keterbukaan MDKA, sambung Edi, juga tidak mengungkapkan bahwa CSPA memberlakukan tenggat waktu kontrak selama 12 bulan agar syarat pendahuluan tersebut dapat dipenuhi. Batas tenggat waktu tersebut saat ini terlah berlalu dan syarat pendahuluan tertentu yang mengharuskan tindakan pihak ketiga tetap tidak terpenuhi.
Sebagai akibatnya, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam CSPA, kewajiban untuk menyelesaikan transaksi yang dimaksud dalam CSPA tidak dan tidak akan timbul. Menurut Edi, fakta bahwa tidak ada satu pun pihak yang secara resmi mengakhiri CSPA tidak relevan dengan kesimpulan tersebut.
"Selain itu, besarnya ganti rugi yang diklaim oleh PBT dalam arbitrase sama sekali tidak berdasar dan tidak memiliki dasar hukum atau fakta," sebut Edi.
Dia menegaskan bahwa JRN akan mempertahankan haknya dengan segala upaya dalam arbitrase yang dimulai oleh PBT, yang menurut PSAB, tidak berdasar dan tidak beralasan.