Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Satu tahun periode pemerintahan Jokowi-Ma'aruf turut mendorong perekonomian nasional. Para pelaku industri ritel pun mengapresiasi atas realisasi-realisasi yang sudah berlanjut dari masa pemerintahan sebelumnya kepada masa pemerintahan baru dengan kabinet baru.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melihat keseriusan pemerintahan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur yang menghubungkan distribusi barang dan ritel karena sangat memerlukan suatu infrastruktur yang memadai.
"Kami melihat bahwa keseriusan pemerintah untuk mendukung akan sektor konsumsi sebagai kontributor pada produk bruto domestik kita sangat jelas terlihat seperti masalah supply lalu diperbaiki, bagaimana ketahanan pangan kita, ketersediaan pangan kita baik itu dari sisi pangan kebutuhan pokok maupun yang non kebutuhan pokok," ujar Roy Nicholas Mandey, Ketua Umum Aprindo saat dihubungi kontan.co.id, Senin (19/10).
Kemudian dari sisi demand dan supply pihaknya melihat banyak hal-hal yang berhubungan dengan lumbung pangan yang digelorakan oleh pemerintah, seperti di Kalimantan.
Itu merupakan salah satu eksplorasi terhadap sektor supply supaya ketahanan pangan bisa menjadi lebih baik. Kemudian dari sisi demand dengan adanya penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat yang terus berdinamika sampai kepada keluarnya omnibus law ini menurut Roy adalah salah satu bukti yang nyata.
"Dapat kita lihat realisasi upaya-upaya yaitu melalui adanya omnibus law sehingga tentunya masyarakat yang juga dapat terserap oleh investor, baik domestik maupun luar negeri yang menanamkan modalnya atau membangun pabrik di dalam negeri. Mudah-mudahan dengan adanya omnibus Law yang terus berproses, tenaga kerja kita dapat terserap dengan baik," jelas Roy.
Roy mengaku sebelum pandemi seharusnya industri ritel itu meningkat karena pertumbuhan ritel sangat signifikan. Setelah pandemi tentunya industri ritel terdampak tetapi Roy menyebut bukan karena pandemi nya tetapi karena pembatasan sosial di berbagai daerah sehingga ritel terdampak tanpa memperhatikan situasi atau kondisi ekonomi.
Roy menyebut bahwa pemerintah daerah masih punya pola-pola yang tentunya semangatnya mungkin sama dengan pemerintahan pusat tetapi caranya berbeda-beda dalam penanggulangan covid-19 dan ini yang terkadang membuat akhirnya penanggulangan pandemi ini dalam hal kesehatan dan juga ekonomi seringkali menjadi timpang atau tidak seimbang.
"Pemerintah daerah hanya mengutamakan kesehatan padahal ekonomi dan kesehatan harus balance, ada gas dan rem nya. Tidak boleh rem terus dengan lockdown yang akhirnya ekonomi kita terpuruk," kata Roy.
Menurut Roy, belum adanya sinkronisasi 100% pemahaman dan edukasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengenai penanganan pandemi ini. Kemudian dari level masyarakat, harus disiplin dan juga sikap mental dalam menghadapi pandemi masih perlu ditingkatkan karena masih lemah. Jadi, dari dua level ini Pemerintah maupun masyarakat menurut Roy perlu sama-sama dibenahi.
Para pelaku industri ritel berharap, tetap mendapatkan akses untuk menerima subsidi bantuan bantuan pemulihan ekonomi nasional yang sudah digelontorkan oleh korporasi kredit non UMKM yang dikucurkan di akhir Juli lalu. Roy mengaku para pelaku usaha ritel modern dan mal belum mendapat korporasi kredit dengan bunga murah.
Ia mengungkapkan, pendapatan para pelaku usaha lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan bahkan sebagian besar untuk beberapa peritel yang lokal, ritel yang kecil harus gulung tikar lebih dulu karena mereka tidak memiliki cadangan dana atau cadangan equity saat equity sudah terpakai dalam upaya tetap beroperasi saat pandemi ini. Jadi bantuan kredit korporasi itu sangat dibutuhkan untuk bisa diakses oleh para pelaku ritel yang saat ini belum bisa diakses.
Selain itu, ia berharap adanya relaksasi perpajakan yang kiranya masih dapat berlanjut dan diperpanjang satu tahun kedepan berkaitan dengan relaksasi pajak dalam hal PPH 21 maupun PPH final daripada badan atau korporasi. Kemudian dalam kebijakan moneter pihaknya berharap adanya penurunan suku bunga yang bisa menurunkan kredit komersial ini sangat diperlukan untuk membuat para peritel bisa dapat tetap beroperasi.
Di tengah pandemi covid-19 ini para pelaku industri ritel pun melakukan efisiensi dalam segala hal termasuk efisiensi biaya, efisiensi inventory, dan juga efisiensi tenaga kerja yang menurut Roy sangat memprihatinkan karena ketika harus melakukan efisiensi tenaga kerja berarti di pendapatan tidak bisa mengcover maka satu-satunya jalan adalah efisiensi tenaga kerja dengan merumahkan maupun mem-PHK. Hal tersebut yang dilakukan oleh para peritel dikala belum mendapatkan akses-akses seperti korporasi kredit tersebut.
Aprindo memandang peluang di tahun depan jika tidak ada halangan, jika vaksin sudah bisa diberikan maka akan ada peningkatan pertumbuhan ekonomi 4,5%-5%. Ketika vaksin sudah bisa direalisasikan dan dibagikan di kuartal I-2021, sehingga di Kuartal II-IV sudah mulai recovery.
Selain itu, Ia berharap sektor konsumsi bisa kembali pulih, omnibus law juga diharapkan sudah bisa bergulir sehingga dapat menyerap investasi yang signifikan. Karena dua komponen itu, konsumsi dan investasi yang diharapkan di 2021 dapat kongkrit dan terlihat realisasinya.
Sementara tantangannya adalah ketika vaksin belum dapat direalisasikan, itu menjadi tantangan yang utama dalam masa pandemi, dan tantangan yang kedua dan merupakan hal yang sangat membuat industri ritel akhirnya tidak dapat maju adalah tantangan internal dimana internal dari satu golongan atau satu kelompok yang mau mengutamakan kepentingan kelompok dari kepentingan umum atau ada maksud dan tujuan politis yang dicampur dengan kepentingan kelompok. Kepentingan golongan tersebut ini yang menurut Roy membuat pihaknya akan tergerus energi, fikiran dan tenaga untuk merebut peluang yang sudah ada di depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News