Reporter: Noverius Laoli | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga karet alam domestik yang beberapa tahun terakhir anjlok di pasar global membuat pemerintah kembali mewacanakan hilirisasi karet alam domestik. Wacana hilirisasi karet alam ini diharapkan bisa meningkatkan penyerapan karet dalam negeri mencapai 40% dalam lima tahun ke depan. Sebab selama ini, dari total produksi karet 3,1 juta ton tahun 2014, hanya 18% yang bisa diserapkan dalam negeri, selebih nya di ekspor.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengatakan dalam rangka meningkatkan industri hilirisasi karet, pemerintah saat ini berkomitmen menyerap karet untuk pembangunan sejumlah proyek infrastruktur nasional. Proyek tersebut seperti pembangunan dock fender dalam program pembangunan fasilitas pelabuhan, bahan campuran aspal jalan, rubber pads rel kereta api dan bantalan jembatan, bendungan karet dan komponen water stop dalam pembangunan bendungan, serta komponen pintu irigasi dan pengembangan rawa.
Selain itu, karet juga dapat dikembangkan untuk pembuatan karpet untuk sapi (cow mat), genteng karet, paving block, bearing bangunan antigempa, penguatan tebing, kasur lateks, dan banyak lainnya. Melalui program peningkatan pemanfaatan karet alam domestik ini, diharapkan produk-produk berbasis karet alam yang dihasilkan lebih bergam. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik saja, melainkan juga untuk meningkatkan ekspor bernilai tambah. Dengan demikian, maka dapat menyumbang devisa yang lebih besar.
Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Taufik Widjoyono menjanjikan kementeriannya akan menyerap produksi karet pada tahun 2015 sebanyak 60.000 ton hingga 80.000 ton. Ke depan penyerapan sebesar itu bisa dilakukan secara berkelanjutan. "Secara umum dari perhitungan kita, kira-kira untuk infrastruktur bisa menyerap sekitar 60.000 - 80.000 ton per tahun," ujar Taufik.
Penyerapan karet itu digunakan untuk campuran aspal jalan yang akan mampu memperbaiki kualitas aspal, sehingga kekenyalan menjadi lebih tinggi dan bisa lebih tahan lama serta tahan air. Selain itu juga dipergunakan untuk bendungan karet yang memang memungkinkan untuk sungai yang relatif tidak berbatu. Di samping itu juga bisa dipakai di saluran irigasi.
Kementerian Perhubungan juga menargetkan penyerapan karet alam kurang lebih 21.000 ton per tahun, yang diperuntukkan bagi sarana kenavigasian kurang lebih 15.000 ton dan kereta api 5.000 ton per tahun.
Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) Kementerian Perindustrian Harjanto menambahkan bahwa dengan pertumbuhan industri hilir karet yang makin beragam, ke depan penggunaan karet di pasar domestik dapat mencapai 40%. Kemenperin otimis ada sejumlah investor asing tertarik menanamkan modal ke Indonesia untuk membangun industri ban. Dengan demikian, cita-cita meningkatkan penyerapan karet dalam negeri bisa lebih mudah terealisasi. "Kita berharap investor ban yang masuk ini pemain dunia, mereka tengah mencari lahan di Sumatra dan Kalimantan," imbuhnya.
Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Daud Husni Bastari menyambut baik kebijakan pemerintah yang ingin menyerap karet domestik sebagai bahan baku penolong pembangunan infrastruktur. Namun, ia menekankan agar janji tersebut segera direalisasikan. Ia menyarankan agar pemerintah membangun iklim industri dan perdagangan karet dalam dan luar negeri yang lebih kondusif.
"Selama ini, penyerapan karet alam dalam negeri masih terbatas karena kurang didukung kebijakan dan kemauan politik penggunaan produk domestik," keluh Daud.
Ia mencontohkan pengguna mobil dan motor di Indonesia menembus 1 juta lebih. Tapi hanya sebagian kecil yang menggunakan ban buat dalam negeri. Begitu juga dengan sarung tangan karet, lebih banyak menggunakan buatan Malaysia. Industri tidak bisa bekerja optimal karena minimnya pasokan gas dalam negeri.
Harga karet alam dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan drastis. Bila pada tahun 2011 lalu harga karet dunia mencapai US$ 4,61 per kilogram (Kg), kini harga karet tersungkur menjadi US$ 1,5 per kg. Akibatnya harga karet di tingkat petani jatuh dan kini bertahan di angka Rp 6000 per kg, dari sebelumnya sempat menyentuh Rp 20.000 per kg pada tahun 2011.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News