Reporter: Pamela Sarnia | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, di 2017 ini Sintesa Group fokus mengembangkan bisnis energi. Padahal, sebelumnya Sintesa lebih mengandalkan bisnis di sektor konsumer melalui PT Tigaraksia Satria Tbk yang berkontribusi besar ke group.
Bisnis energi menjadi menarik di kala pemerintah sedang giat membangun infrastruktur kelistrikan melalui program 35.000 megawatt (MW). "Yang jadi andalan lebih energi. Sektor konsumer memang lebih stabil, tapi kami fokusnya lebih ke energi. Karena energi masih berhubungan dengan infrastruktur," kata Shinta Widjaja Kamdani, CEO Sintesa Group kepada KONTAN, Rabu (8/2) lalu.
Tahun lalu sendiri pencapaian Sintesa Group cukup memuaskan meski tidak mencapai target. Awalnya Sintesa mengincar kenaikan pendapatan sebesar 10%. "Kami below dari yang sudah ditargetkan. Memang kami targetkan 10%, ya. Tapi, pencapaiannya sekitar 5%. Tahun lalu pendapatan kami Rp 1,3 triliun," ujar Sintesa.
Walau tahun lalu belum berhasil memenuhi target, namun tahun ini Sintesa yakin hasilnya akan lebih baik. "Tahun ini kami lihat ada pertumbuhan lebih besar, tapi tidak sampai 15%. Kami lebih optimis, tapi optimis with cautions. Jadi kami optimis tapi sangat berhati-hati," papar Shinta.
Sintesa makin yakin melihat pertumbuhannya lebih besar karena ada sejumlah perbaikan di makroekonomi. "Walaupun ada keadaan ekonomu di luar negeri terkendala, ya, dengan isu Trump dan Brexit, tapi bisnis kami tidak akan terpengaruh. Kami tetap optimis karena pemerintah kita tampaknya serius menggarap infrastruktur dan kami juga memang serius mendevelop bisnis listrik," kata Shinta.
Selain mengembangkan bisnis kelistrikan, Sintesa tahun ini fokus mengonsolidasikan anak usaha. Sehingga anggaran perusahaan untuk ekspansi akan lebih ditahan. "Kalau kita lihat, kita lebih fokus ke konsolidasi jadi tidak terlalu ekspansif," kata Shinta.
Sintesa Group menjalankan bisnis listrik sebagai independent power producer (IPP) melalui PT Metaepsi Pejebe Power Generation (Meppogen) yang menjual listrik ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT Sintesa Energy yang membangun sejumlah pembangkit listrik.
Saat ini Sintesa sedang menyelesaikan sejumlah proyek pembangkit listrik. Misalnya mengekspansi Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Gunung Megang di Muara Enim, Sumatera Selatan dari semula berkapasitas 110 MW menjadi 150 MW.
Selain itu, Sintesa tengah meneruskan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) berkapasitas 300 MW di kawasan Gunung Karang, Pandeglang, Banten, Jawa Barat, melalui konsorsium PT Sintesa Green Energy dan PT Sintesa Banten Geothermal. "Sekarang kami masuk tahap eksplorasi. Sempat ada permasalahan pembebasan lahan tapi sudah kami selesaikan," kata Shinta.
Shinta mengatakan, pada tahap awal, pembangunan PLTP tersebut akan dilakukan sendiri dulu. Baru setelah eksplorasi, Sintesa akan membuka kesempatan kerja sama dengan investor asing. Sintesa sengaja menunda membuka tender untuk memperbesar nilai proyek sehingga keuntungan yang bisa diperoleh pun lebih besar.
"Tadinya, kami mau langsung menggandeng investor asing dengan proyek tender. Tapi, kami melihat kelihatannya untungnya lebih besar kalau kita melakukan sendiri. Setelah kita tahu value dari proyek itu baru kita gandeng investor asing. Dengan begitu valuenya lebih maksimal. Daripada sekarang jual murah, lebih baik tunggu saja, kami yang investasi dulu," kata Shinta.
Shinta mengatakan proyek PLTP ini merupakan proyek jangka panjang. Proyeknya diprediksi bisa selesai dalam waktu tiga tahun.
Selain melanjutkan proyek, Sintesa juga tertarik menambah sejumlah pembangkit. Daerah yang menjadi incaran Sintesa ialah Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Sulawesi Utara. "Kami sedang proses akuisisi di daerah-daerah yang kami sudah punya proyek selain listrik. Kami juga akan menambah beberapa tenaga gas uap lagi," kata Shinta.
Sintesa sengaja membangun pembangkit listrik di lokasi-lokasi tersebut karena listrik yang dihasilkan bisa digunakan oleh sejumlah aset properti milik Sintesa. Di Sumatera Selatan, Sintesa memiliki Hotel Sintesa Peninsula Palembang. Sedangkan di Sulawesi Utara, Sintesa tengah mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang yang akan dibangun hotel dan resor. "Jadi kami buatnya terintegrasi," ujar Shinta.
Selain proyek kelistrikan, Sintesa mengembangkan proyek properti khususnya di ecotourism. Yang sedang ditangani Sintesa ialah KEK Likupang seluas 600 hektare (ha) di Sulawesi Utara. "Sekarang masih dalam proses master planning," kata Shinta.
Tetap jalankan rencana IPO
Walau tidak bisa terlaksana dalam waktu dekat, keinginan Sintesa Group untuk mendorong dua subholdingnya, yakni properti dan energi, untuk terjun ke Bursa Efek Indonesia (BEI) masih menyala. Sintesa masih on the right track mencapai target Sintesa agar tiap subholding bisa melakukan penawaran umum alias initial public offering (IPO) sendiri-sendiri.
Dari empat holding, baru subholding sektor konsumer dan industri yang melantai di bursa. Emiten milik Sintesa di sektor konsumer adalah PT Tigaraksa Satria Tbk (TGKA) sedangkan di sektor industri adalah PT Tira Austenite Tbk (TIRA).
"Ya, kami masih merencanakan (IPO), sih. Tapi, tidak tahun ini. Kemungkinan di tahun depan atau dua tahun lagi. Yang pasti, tidak tahun ini," kata Shinta.
Prosesnya jadi lebih lama karena Sintesa Group tengah menganalisa subholding mana yang akan go public duluan. Apakah subholding energi atau properti. "Kami lihat mana yang lebih berprospek. Karena kami melihat, sektor energi opportunity-nya juga besar. Jadi, mana lihat mana yang lebih dulu. Yang pasti, kami tidak akan lakukan bersama-sama," ujar Shinta.
Selain tidak akan dilakukan dalam waktu bersamaan, Sintesa juga tidak ingin menggabung sektor yang berbeda untuk IPO berbarengan. Dengan fokus per sektor, perusahaan akan lebih mudah menyusun target dan rencana. "Kami maunya per sektor agar tidak tercampur. Targetnya jadi lebih clear. Karena valuenya juga akan beda, ya, kalau kita mencampur-campur," jelas Shinta.
Sebelum melantai di bursa, Sintesa akan memperbesar nilai subholding-nya terlebih dahulu. Dengan begitu, investor akan lebih tertarik membeli saham perdananya.
"Kalau nilai perusahaannya terlalu kecil, tidak ada gunanya. Nilai aset, kalau properti minimum Rp 3 triliun sebelum IPO. Sekarang kami masih sekitar setengahnya. Sedangkan kalau energi, kami lebih melihat ke skala megawattnya, ya. Jadi, kami targetkan total kapasitasnya 1.000 MW sebelum masuk bursa," kata Shinta.
Kendati ada target ideal, namun Shinta tidak mau terlalu terpaku sehingga tidak jadi-jadi IPO. "Sekarang ada banyak juga perusahaan yang tidak sampai target sebesar itu tapi dia sudah bisa IPO. Kembali lagi, tergantung pada apa keinginan perusahaan untuk fundraising-nya. Makanya, kami tidak terlalu mematok itu, sih," kata Shinta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News