Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan adanya penghematan subsidi jika skema ekspor energi listrik sebesar 1:1 dalam revisi Permen ESDM 49/2018 dilaksanakan.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM kini tengah merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 jo No. 13/2019 jo No.16/2019 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero). Salah satu perubahan yang dilakukan yakni perubahan persentase ekspor listrik dari 1:0,65 menjadi 1:1.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mengungkapkan penghematan subsidi ini tak serta merta mengurangi alokasi melainkan demi menjamin penyaluran subsidi lebih tepat sasaran. "Kalau PLTS Atap masuk ke sistem kan demand tidak ditambah tapi kurangi pembangkit yang ada," kata Rida dalam Konferensi Pers Virtual, Jumat (27/8).
Rida melanjutkan, jika opsi mengurangi pembangkit yang ada maka ada dua jenis pembangkit yang paling mungkin dilakukan yakni pembangkit berbasis gas dan batubara. Dari keduanya, secara ekonomis dan teknis maka pembangkit berbasis gas lebih mudah untuk dikurangi.
Baca Juga: PLN berpotensi kehilangan Rp 5,7 triliun dari pengembangan PLTS Atap
Rida menjelaskan, pembangkit listrik berbasis gas umumnya bersifat sebagai follower atau peaker dan bukan sebagai base loader. "Secara teknis lebih mudah menurunkan kapasitas pembangkit gas dibandingkan PLTU," ujar Rida.
Adapun, jika skema nilai ekspor listrik 100% diterapkan maka ada penghematan subsidi sebesar Rp 0,23 triliun. Penghematan ini bersumber dari berkurangnya energi listrik yang dikonsumsi pelanggan akibat konsumsi listrik dipasok dari PLTS Atap.
Sementara itu, Kementerian ESDM mengungkapkan ada potensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun untuk PLN dengan implementasi PLTS Atap 3,6 GW secara bertahap hingga 2025 mendatang. Kendati demikian, Kementerian ESDM memastikan masih ada sumber pendapatan lain yang bisa dimanfaatkan perusahaan setrum pelat merah tersebut.
Sejumlah peluang tersebut bersumber dari potensi pendapatan penjualan nilai karbon ditambah Renewable Energi Certificate (REC) sebesar Rp 159 miliar per tahun dan potensi pendapatan dari penjualan nilai karbon ditambah tarif layanan khusus Energi Terbarukan di kisaran Rp 1,12 triliun hingga Rp 1,54 triliun per tahun.
Selanjutnya: Pemanfaatan EBT di Indonesia masih rendah, ini yang dilakukan Kementerian ESDM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News