Reporter: Azis Husaini, Febrina Ratna Iskana, Pratama Guitarra | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Keinginan pemerintah memakai kontrak bagi hasil gross split dalam kontrak kerja sama investasi di sektor hulu minyak dan gas bakan menghadapi rintangan.
Draf final revisi Undang-Undang Minyak dan Gas (UU Migas) yang diserahkan ke Badan Legislasi kemarin (5/6), Komisi VII DPR sepakat tidak memasukan skema gross split dalam revisi UU Migas itu.
Anggota Komisi VII DPR, dari Fraksi Nasdem Kurtubi beralasan, kebijakan gross split menghilangkan kontrol negara atas pengelolaan migas. Padahal pengelolaan migas harus diawasi. "Ini yang mendasari kami sepakat memakai kembali skema cost recovery, harus ada kontrol negara," tandas Kurtubi kepada KONTAN, Senin (5/6).
Selain itu, alasan tetap memasukan cost recovery adalah adanya kewajiban pemakaian pemakaian Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). "Kalau pakai cost recovery semua biaya dilaporkan. Dan, akan ada peningkatan pemakaian TKDN," kata dia.
Jika memakai gross split, Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) bisa membawa barang-barang pengeboran dari luar negeri. "Mur, sekrup, bor, mereka tidak mau beli dari dalam negeri. TKDN bisa berkurang," kata dia.
Hanya DPR menyadari, setiap tahun kenaikan anggaran cost recovery meningkat, sementara produksi terus turun. Hanya,"Kami menyerap aspirasi KKKS, mereka lebih senang cost recovery. Jadi, Komisi VII sepakat pakai cost recovery," ujar Kurtubi.
Hari Purnomo, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra menambahkan, revisi UU Migas dibuat fleksibel, tak memasukkan skema gross split. "UU tak perlu mengatur gross split, takut mengikat," ujar dia ke KONTAN.
Menurut dia, aturan bagi hasil migas seharusnya tak mengikat kontraktor migas dan tidak memaksa. "Kalau kontraktor tak sepakat pakai gross split, apakah akan jalan pengelolaan blok migas?" tanya Hari. Makanya, DPR mengusulkan skema bagi hasil terbuka agar kontrak lebih menguntungkan negara.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, penggagas gross split masih ogah menanggapi revisi UU itu. "Nanti kita diskusi," ujar dia singkat.Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko mengaku belum membaca revisi UU itu.
Yang jelas, jika pemerintah masih ngotot dengan skema gross split, peluang itu terbuka saat pembahasan revisi UU itu dalam waktu dekat. Tapi, pemerintah harus siap dengan argumen mumpuni di tengah penolakan parlemen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News