Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyambut baik rencana pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA).
Kalangan industri menilai, revisi aturan ini penting untuk meringankan tekanan arus kas (cash flow) yang selama ini dialami pelaku usaha, khususnya di sektor nikel.
Dewan Penasihat Pertambangan APNI Djoko Widajatno mengatakan, peninjauan kembali aturan DHE diperlukan karena kebijakan saat ini dinilai terlalu memberatkan eksportir produk nikel olahan seperti ferronickel, nickel matte, dan stainless steel.
Baca Juga: Aturan DHE SDA Bakal Direvisi Lagi, Pelaku Tambang Berharap Tak Tambah Beban Usaha
“Meninjau ulang DHE mungkin ada dua sisi. Bagi perusahaan yang mengekspor produk olahan seperti ferronickel dan stainless steel, aturan sekarang cukup memberatkan. Kalau waktu penahanannya diturunkan, itu akan sangat membantu pengusaha,” ujar Djoko kepada Kontan.co.id, Rabu (22/10).
Menurut Djoko, kewajiban menempatkan DHE selama 12 bulan membuat perusahaan kehilangan fleksibilitas dalam mengelola dana ekspor.
Sementara di sisi lain, perusahaan tetap harus memenuhi kewajiban pembayaran operasional maupun cicilan utang.
“Pelaku tambang mengalami gangguan cash flow dan harus mengeluarkan biaya tambahan jika ada kewajiban bayar. Menyimpan DHE hanya mendapat bunga 2,5%, sementara kalau meminjam ke bank bunganya jauh lebih tinggi,” jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan DHE dengan retensi panjang justru menambah tekanan finansial bagi industri yang tengah bertransformasi menuju hilirisasi.
“Memang ada keringanan penggunaan DHE, tapi perusahaan tetap harus menombok,” imbuh Djoko.
Baca Juga: Investasi China ke Indonesia Merosot, Penurunan Harga Nikel Jadi Salah Satu Pemicu
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pemerintah akan meninjau kembali efektivitas kebijakan DHE SDA karena belum menunjukkan dampak signifikan terhadap peningkatan cadangan devisa nasional. Evaluasi tersebut akan dilakukan bersama Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter.
Sebagai informasi, kebijakan DHE diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025, yang mewajibkan eksportir menempatkan 100% devisa hasil ekspor SDA di sistem keuangan Indonesia selama minimal 12 bulan.
Namun setelah delapan bulan berjalan, dampak positifnya terhadap cadangan devisa dinilai belum optimal.
Kalangan pelaku pertambangan lainnya juga mendukung langkah evaluasi ini. Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai evaluasi penting agar aturan DHE lebih fleksibel dan tidak membebani sektor usaha.
Sementara itu, Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, berharap evaluasi kebijakan tidak memperumit aturan yang sudah berjalan.
Baca Juga: Koperasi-Ormas Berpeluang Garap Tambang di Luar Batubara, Ini Kata Perusahaan Nikel
“Yang penting jangan sampai memperlambat arus kas perusahaan, karena sektor ini padat modal dan melibatkan rantai pasok yang panjang,” ujarnya.
Dari sisi hilirisasi, Ketua Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, menilai penahanan DHE selama 12 bulan membuat industri pengolahan nikel kehilangan daya saing di pasar global.
“Perusahaan harus mencari pendanaan tambahan dari bank, sementara bunga pinjaman di dalam negeri tinggi. Ini meningkatkan beban biaya dan menurunkan daya saing ekspor,” jelas Arif.
Selanjutnya: Intip Top Gainers dan Losers Altcoin Kamis (23/10): Clearpool & Kadena Balik Memerah
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Dua Mingguan 23 Oktober-5 November 2025, Telur Omega Diskon 10%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News