Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kini tengah menyusun peta industri nikel dari hulu hingga hilir demi pengambilan kebijakan ke depan.
Direktur Mineral Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengungkapkan pembangunan maupun pengembangan proyek ke depan harus memastikan ketersediaan pasokan dan cadangan dari hulu.
"Kami sedang menyusun material balance nikel dari hulu (sumberdaya dan cadangan) hingga hilir sesuai pohon industri nikel sehingga kebijakan (diambil) secara tepat," jelas Sugeng kepada Kontan.co.id, Minggu (27/6).
Baca Juga: Muncul wacana pembatasan smelter, bagaimana dampaknya terhadap emiten nikel?
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengungkapkan pembatasan pembangunan smelter kelas dua yakni feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI) dikarenakan nilai tambah yang minim dari produk ekspor.
Nantinya, peningkatan nilai tambah produk smelter bakal didorong mencapai produk stainless steel. "Atau hingga minimal nikel sulfat sehingga nilai tambah yang kita peroleh meningkat," terang Mulyanto, Minggu (27/6).
Sebagai perbandingan, estimasi harga untuk produk FeNi sebesar US$ 15.500 per ton sementara nikel matte sebesar US$ 14.000 per ton. Besaran ini masih lebih rendah ketimbang produk nikel sulfat yang mencapai US$ 20.500 per ton.
Adapun, dari data yang ada potensi penerimaan negara pasca 2025 dari produk FeNi dengan jumlah 100 ribu ton sebesar US$ 135,62 juta. Jumlah ini masih lebih rendah ketimbang potensi penerimaan negara dari 100 ribu ton produk nikel sulfat yang mencapai US$ 153,75 juta. Artinya, terdapat potensi tambahan penerimaan negara hingga US$ 18,12 juta.
Baca Juga: Perpres PLTSa bakal direvisi, begini potensi pellet RDF yang jadi alternatif
Mulyanto melanjutkan, saat ini usulan pembatasan smelter nikel kelas 2 ini masih dalam tahapan usulan dan pematangan konsep. "Belum keluar peraturan kementeriannya, jadi belum ada legalitas untuk eksekusinya," kata Mulyanto.