Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan supaya pemerintah mengkaji ulang besaran pajak dalam traktat yang diatur selama ini untuk menghindari pengenaan pajak berganda bagi perusahaan minyak dan gas asing. "Tax treaty memang lebih baiknya dikaji ulang kembali karena kita itu memiliki beberapa tax treaty dengan beberapa negara," kata staf ahli investasi dan produksi Kementerian ESDM, Kardaya Warnika, Rabu (20/7).
Kajian ulang itu kata Kardaya karena ketentuan traktat pajak tersebut rata-rata dirancang pada sekitar tahun 1980-an, di mana kondisi saat itu berbeda dengan sekarang, mulai dari tingkat suku bunga dan lainnya."Kalau sudah lama memang lebih baik ditinjau agar menguntungkan negara," katanya. Beberapa hal yang diperbaiki misalnya adalah besaran persentase pajaknya. Apabila persentase pajaknya dinilai terlalu kecil, maka dapat dinegosiasikan agar bisa diperbesar.
Kardaya menjelaskan, perselisihan pajak yang terjadi antara kontraktor dan pemerintah saat ini berada di perbedaan persepsi. Dia yakin, permasalahan ini nantinya tidak akan mengganggu iklim investasi migas dalam negeri. Ia melanjutkan perbedaan persepsi ini sudah sejak lama terjadi sejak tahun 1990-an, namun hingga sekarang tidak ada gangguan dalam investasi migas. "Bukan itu yang mengganggu investasi. Investasi itu bisa terganggu kalau misalnya di daerah ada demo besar-besaran," papar Kardaya.
Sementara itu, Vice President Indonesia Petroleum Association, Jim Taylor, masih belum mau berkomentar banyak soal perselisihan pajak dan permintaan untuk peninjauan ulang traktat pajak. "Saya tidak ada komentar soal hal itu," ujar Jim. Jim menegaskan, pihaknya yakin bahwa perusahaan migas asing yang ada di Indonesia selalu taat pada peraturan yang berlaku.
Jim meminta segala persoalan traktat pajak dan lainnya ditanyakan langsung kepada pemerintah dan BP Migas selaku pelaksana hulu."Karena itu adalah hal yang harus diselesaikan bersama secara internal terlebih dahulu antara BP Migas dan pemerintah," katanya.
Mengenai renegosiasi kontrak yang mulai diminta oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara. Jim mengingatkan pemerintah betapa pentingnya menghargai kontrak yang sudah terjalin demi kepastian hukum dalam investasi migas. Pastinya, investor yang telah menanamkan banyak modal dalam jangka waktu lama di Indonesia tidak mungkin mau mengubah kontraknya secara mendadak.
"Kejelasan dan kepastian adalah faktor terpenting dalam investasi," tegasnya. Dia juga menekankan, setiap renegosiasi maupun perubahan peraturan yang membuat ketidakpastian hukum mau tidak mau dapat berdampak negatif terhadap iklim investasi migas di Indonesia dalam waktu ke depan.
Kebutuhan investasi migas di Indonesia, lanjut Jim makin lama makin besar tiap tahunnya. Ia bercerita pada tahun 2001 hingga 2005 kebutuhan investasi migas di sektor hulu mencapai US$ 2 miliar tiap tahun. Jumlah investasi di sektor hulu migas naik menjadi US$ 8 miliar tiap tahun pada tahun 2006 hingga 2010. Mulai tahun ini hingga lima tahun ke depan (2015), investasi sektor hulu migas sebesar US$ 12 miliar tiap tahun. Pada 2016-2020 kebutuhan investasi hulu migas mencapai US$ 17 miliar per tahun. Dan pada 2025, kebutuhan investasi hulu migas tembus hingga US$ 23 miliar.
"Diperlukan investasi yang cukup besar untuk membangun infrastruktur migas. Investasi akan naik hingga tiga kali lipat. Anggota-anggota IPA akan tetap menyediakan bagian terbesar dari investasi masa depan yang dibutuhkan," kata Jim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News