Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
Presiden Jokowi tentu tidak ingin kasus krisis energi yang dialami oleh negara-negara di belahan benua Eropa menular ke Indonesia sebagaimana halnya pernah dialami pada Tahun 1973 dan 1979, dipicu oleh perang dan konflik kawasan serta kenaikan harga minyak sampai 300%.
Beberapa negara Eropa berencana mengaktifkan pembangkit listrik tenaga batu bara pasca terjadinya pemotongan pasokan gas dari Rusia.
Untuk itu, komitmen kementerian terkait sebagai sektor utama (leading sector) disebutnya harus mampu menerjemahkan kekhawatiran presiden, terutama Kementerian ESDM, Perindustrian, Investasi dan BKPM dan BUMN bekerjasama dan berkoordinasi secara intensif untuk merumuskan peta jalan (roadmap) transisi energi secara optimal.
Di samping itu, Presiden Joko Widodo dapat memainkan peran penting dan krusial untuk mengakhiri perang antara Rusia dan Ukraina di satu sisi. Di sisi yang lain, negara-negara produsen batu bara juga dapat bersama-sama menuntut komitmen energi bersih lingkungan yang telah dicanangkan G7 untuk membantu investasi pengembangannya di negara-negara lainnya, khususnya Indonesia.
Jika komitmen ini dipenuhi, maka krisis keuangan akibat membengkaknya realisasi subsidi energi akan secara bertahap dapat diatasi melalui pengembangan energi alternatif, baru dan terbarukan (EBT).
Dukungan kementerian terkait untuk menjalankan transisi energi ini juga dibutuhkan, sebab sinyalmen terhambatnya pengembangan EBT dilatarbelakangi oleh adanya konflik kepentingan para pembantu Presiden yang sekaligus pengusaha.
"Indonesia seharusnya mempersiapkan kertas kerja yang komprehensif untuk memanfaatkan momentum KTT G7 ini dengan sebaik-baiknya," kata Defiyan
Transisi energi, terutama energi bersih lingkungan ini harus dijalankan pertama kali oleh jajaran pemerintahan khususnya birokrasi supaya menunjukkan komitmen atas kebijakannya.
Penggunaan kendaraan listrik, kompor listrik dan sejenisnya akan mampu mengurangi dampak pencemaran udara sekaligus melakukan penghematan atas penggunaan energi fosil secara berlebihan. Alasan yang cukup kuat, yaitu lifting minyak Indonesia yang menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) kinerjanya selama 7 tahun terakhir ini semakin menurun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News