Reporter: Mona Tobing | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Sanjungan dunia global atas penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SLVK) pada produk Indonesia disangsikan oleh pelaku industri dalam negri. Pasalnya, sejumlah industri konsumen malah memilih menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi asing sebagai acuan pembelian produk kehutanan ketimbang menggunakan SVLK.
Rusli Tan, Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengakui, minat industri pulp dan kertas untuk menggunakan SLVK masih rendah. Justru sebagian pelaku industri lebih senang menggunakan produk yang memiliki sertifikat dari pihak asing. Padahal, kondisi ini bisa diantisipasi manakala pemerintah mewajibkan sistem SLVK.
"Pemerintah seharusnya memaksa industri konsumen di tanah air menjadikan SVLK sebagai satu-satunya acuan pembelian produk kehutanan. Kalau mereka tidak mau, itu melecehkan SVLK," kata Rusli pada akhir pekan lalu (18/7).
Alhasil, produk impor untuk produk kertas misalnya, volume impornya terus meningkat beberarapa tahun belakangan. Tahun 2010 volume impor kertas sebesar 22.166 ton, kemudian naik menjadi 33.456 ton tahun 2011, lalu 51.368 ton tahun 2012, dan 73.869 ton tahun 2013.
Produk impor makin tak terbendung karena tak ada hambatan dagang untuk masuk ke Indonesia. Saat ini bea masuk produk kertas hanya 0%. Produk impor juga bebas dari kewajiban memiliki sertifikat SVLK, di saat produk dalam negeri justru dibebani kewajiban tersebut. Rusli pun mendesak pemerintah untuk segera memberikan perlakuan setara dan memberlakukan kewajiban SVLK bagi produk impor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News