kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Swasembada kedelai menjadi harga mati


Rabu, 01 Agustus 2012 / 15:46 WIB
Swasembada kedelai menjadi harga mati
ILUSTRASI. Kontraktor pertambangan batubara PT Bukit Makmur Mandiri Utama atau BUMA, anak usaha PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID). Foto Dok DOID


Sumber: KONTAN MINGGUAN 44 XVI 2012, Laporan Utama2 | Editor: Imanuel Alexander

Lonjakan harga kedelai yang mengikuti mekanisme pasar merugikan industri pengguna kedelai. Perlu tata niaga kedelai untuk menjaga stabilitas harga. Swasembada kedelai juga harga mati sebagai solusi jangka panjang.

Pekan lalu, kegundahan para perajin tempe dan tahu, akhirnya, memuncak. Mereka mogok memproduksi tempe dan tahu sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang tak mampu mengendalikan harga kedelai.

Sejak awal 2012, perajin tempe dan tahu memang terus menerus menghadapi kenaikan harga harga kedelai. Maklum, kekeringan panjang di Amerika Serikat (AS) yang menjadi penghasil kedelai terbesar di dunia membuat harga kedelai terus berfluktuasi.

Selama ini, kedelai impor memang menjadi bahan baku andalan para produsen makanan seperti tahu, tempe, kecap, dan tauco di negeri ini. Warnanya yang putih bersih, serta ukurannya yang lebih besar dan seragam, menjadi alasan para konsumen memburu kedelai impor ini. Di samping itu, pasokan kedelai lokal tak mampu memenuhi permintaan seluruh industri pembuat tahu dan tempe.

Menurut Ketua Umum Induk Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Inkopti) Sutaryo, ada puluhan importir yang mendatangkan kedelai dari negara asalnya ke Indonesia. Di antara mereka ada beberapa importir besar seperti PT FKS Multi Agro Tbk, PT Cargill Indonesia, PT Gunung Sewu, PT Sungai Budi, dan PT Indonesia Serial. Sisanya, ada sekitar 20 importir dalam skala kecil.

Empat importir besar ini biasanya mendatangkan kedelai dari AS dengan memakai kapal curah khusus berkapasitas angkut 60.000 ton. “Dalam sebulan, pengiriman bisa dilakukan berkali-kali,” jelas Sutaryo.

Sedangkan importir kecil hanya melakukan impor dalam kontainer. Rata-rata, importir kecil hanya memenuhi kebutuhan kedelai perusahaan tertentu yang pemiliknya masih memiliki hubungan bisnis dengan mereka.

Cukup mudah mengenali identitas importir kedelai ini. Mereka biasanya menggunakan logo-logo tertentu yang terlihat dari karung pembungkus kedelai. FKS Multi Agro, misalnya, menggunakan gambar bola dunia. Sementara, Cargill menggunakan warna pelangi. “Dengan adanya tanda pada kemasan kedelai, pembeli bisa menentukan pilihan kedelai dari importir yang disukai,” tutur Sutaryo.

Layaknya produk impor lainnya, importir akan memasarkan karung-karung kedelai melalui distributor. Selanjutnya, para distributor inilah akan menyalurkan kedelai ke sub-distributor atau ke toko-toko. Dari toko ini, perajin tempe dan tahu mendapatkan kedelai. Namun, bisa juga importir menyalurkan kedelai ke perajin melalui wadah tertentu, seperti Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Kopti).

Dari empat importir itu, FKS Multi Agro merupakan importir terbesar. Sutaryo bilang, volume impor kedelai oleh FKS Multi Agro bisa menyamai total impor kedelai dari tiga perusahaan lainnya. Sebagai pembanding, Cargill menguasai 8% hingga 10% pasar kedelai impor di Indonesia. Selama semester I–2012, Cargill mampu merealisasikan impor kedelai sebanyak 120.000 ton. Menurut Jean Louis Guillou, General Manager PT Cargill Indonesia, bilang, pencapaian tersebut relatif sama dengan kinerja periode yang sama tahun 2011 silam.

Dengan kendali pasokan berada di tangan empat importir besar tersebut, Sutaryo bilang, industri pengguna kedelai tak punya daya tawar (bargaining power) . “Berbeda dengan beras yang ketika harga di pasar dunia tinggi, harga di Indonesia cukup stabil karena mempunyai stok banyak,” terangnya.

Menurut Rachmat Hidayat, Direktur Urusan Perusahaan PT Cargill Indonesia, gejolak harga kedelai terjadi murni karena mekanisme pasar dunia, yakni lantaran pasokan kedelai yang terbatas. “Jadi, gejolak harga kedelai yang terjadi di Indonesia juga terjadi di negara lain. Dengan kegagalan panen di AS, pasokan kedelai secara global ikut menurun. Harga pun terdorong naik,” jelasnya.

Tentu saja, importir juga harus menjaga kelangsungan bisnisnya dalam jangka panjang. Meski saat membeli mereka mendapatkan harga yang lebih murah berdasarkan kontrak, mereka tetap akan memasang harga jual sesuai harga pasar yang berlaku saat kedelai itu dijual. “Kalau dijual sesuai harga beli, mereka tak bisa membeli lagi jika harga terus melambung,” imbuh Sutaryo.

Bulog siap menjaga

Indonesia memang masih bergantung pada kedelai impor. Saat ini, kedelai lokal hanya mampu memasok 29% dari total kebutuhan di dalam negeri yang diperkirakan mencapai 2,2 juta ton pada tahun 2012 ini. Jumlah tersebut akan diserap untuk kebutuhan pangan sebesar 1,85 juta ton (83,7%); industri kecap, tauco, dan lainnya sebesar 325.220 ton (14,7%); benih sebesar 25.843 ton (1,2%), dan pakan 8.319 ton (0,4%).

Meski porsi impor masih besar, bukan tak mungkin untuk menciptakan harga yang stabil sesuai keinginan para perajin tempe dan tahu. Menurut Sutar-yo, pemerintah harus memasukkan kedelai sebagai bagian dari program ketahanan pangan nasional. Selanjutnya, pemerintah harus melakukan pengaturan melalui tata niaga. Saat ini, tata niaga yang paling memungkinkan, pemerintah membeli kedelai dari importir.

Untuk itu, pemerintah harus mendata stok kedelai yang dimiliki importir, lantas mereka membeli dengan harga sekarang. Alhasil, stok kedelai itu bisa dijual dengan harga stabil dalam beberapa bulan. “Pembelian kedelai bisa dilakukan empat bulan sekali,” kata Sutaryo.

Untuk menjawab kebutuhan tata niaga kedelai ini, sebenarnya, pemerintah telah membentuk tim kecil yang bertugas merumuskan tata niaga kedelai. “Peran Bulog dalam tata niaga kedelai akan dikaji dalam waktu 30 hari ke depan,” tutur Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kemtan) Udhoro Kasih Anggoro.

Udhoro juga akan mengusulkan agar kedelai dijadikan komoditas pangan pokok seperti halnya beras supaya ada stok dan pedoman harga pembelian dari pemerintah. “Tata niaga akan mengatur agar petani kedelai untung dan konsumen mendapatkan harga yang wajar,” ungkapnya.

Untuk mengimpor kedelai, menurut Udhoro, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Misalnya diimpor langsung oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) atau bekerjasama dengan perusahaan swasta dan Kopti.

Bulog sendiri telah menyatakan siap menjadi penyangga dan penjaga harga kedelai. “Meski situasi dulu dan sekarang berubah, keahlian Bulog menangani logistik belum hilang,” tandas Soetarto Alimoeso, Direktur Umum Perum Bulog.

Bahkan, jauh sebelum isu kedelai mencuat, Soetarto dan para pimpinan Perum Bulog sudah berpikir ke arah sana. “Tapi, kami tetap meminta pemerintah memberikan kewenangan impor kepada Bulog,” terang Soetarto.

Sementara, dalam jangka panjang, Udhoro bilang, Kemtan akan terus mengupayakan peningkatan produksi kedelai nasional. Program itu dilakukan melalui peningkatan produktivitas dengan penyediaan bantuan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) serta bantuan benih varietas unggul, serta perluasan areal tanam kedelai.

Ke depan, bea masuk kedelai impor juga akan tetap diberlakukan agar bisa menjadi stimulus untuk mendongkrak harga kedelai lokal. Kementan tetap menargetkan swasembada kedelai bisa dicapai pada 2014.

Pemerintah boleh saja yakin. Namun, melihat fakta di lapangan, para pengamat justru pesimistis target nan muluk itu bisa tercapai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU

[X]
×