Reporter: Revita Rita Rani | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Keputusan pemerintah menata ulang tata niaga gas nasional dengan mengeluarkan Permen nomor 37 tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi, yang diteken menteri ESDM, Sudirman Said, 13 Oktober 2015 lalu, menuai banyak pertanyaan. Terutama asosiasi-asosiasi gas bumi.
Sekretaris Jenderal Indonesia Natural Gas Trader Association (INGTA), Eddy Asmanto menganggap Permen nomor 37 tahun 2015 ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya. Yakni, UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PP nomor 36 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, dan Permen ESDM nomor 19 tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.
"Ini bertolak belakang dengan peraturan yang ada sebelumnya. Sementara tidak ada pemberitahuan apa pun soal status peraturan yang lama apakah sudah dibatalkan atau bagaimana. Jadi sangat membingungkan untuk teman-teman di swasta sebenarnya ada apa?," ujar Eddy kepada KONTAN, Minggu (8/11).
Permen nomor 37 tahun 2015 memuat beberapa point penting diantaranya menegaskan bahwa perdagangan gas bumi diprioritaskan untuk BUMN, BUMD, serta konsumen atau end user. Selain itu ditegaskan pula bahwa pemerintah akan mengontrol harga jual beli gas dengan mempertimbangkan daya beli konsumen, baik industri maupun rumah tangga.
Ketua Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia (APCNGI), Robby Sukardi mengatakan bahwa Permen tersebut tidak secara jelas menyebutkan peranan badan usaha swasta yang bergerak di sisi hilir, terutama mereka yang berkeinginan atau telah berinvestasi.
"Jika hanya fokus ke BUMN, BUMD, dan end user, apakah ini artinya swasta akan ditiadakan dalam usaha gas nasional dan tidak diperkenankan investasi di infrastruktur pendistribusian gas baik melalui pola gas pipa atau melalui infrastruktur gas untuk kemudian didistribusikan ke end user, ini yang belum jelas," katanya.
Pun demikian dirinya setuju apabila peraturan ini memang dibuat agar end user dapat memperoleh harga gas yang lebih efisien, dengan catatan definisi badan usaha swasta yang akan dibabat oleh Permen dalam hal ini adalah trader yang tidak memiliki investasi infrastruktur atau hanya bermodal kertas.
"Kehadiran swasta (yang turut berinvestasi-red) tidak dapat diartikan harga ke end user pasti jadi mahal. Bisa jadi tidak ada monopoli dari BUMN atau BUMD, jadi persaingan harganya tinggi," tambahnya lagi.
Sebelumnya Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, I.G.N. Wiratmaja Puja berpendapat bahwa trader gas tanpa infrastruktur disinyalir membebankan biaya sewa pipa gas ke konsumen, sehingga harga gas melonjak.
Menanggapi ketidakjelasan status badan usaha swasta dalam peraturan tersebut, Eddy mengatakan akan secepatnya menempuh jalur diplomasi kepada menteri ESDM. Namun jika diplomasi gagal, pihaknya akan memilih jalur hukum untuk memastikan kebijakan ini direvisi.
"Kita sudah berinvestasi cukup besar. Market share sepanjang tahun 2014 kemarin saja mencapai 23%, jadi kami butuh kejelasan," tegas Eddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News