kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tantangan baru industri migas, dongkrak produksi dan tekan emisi karbon


Kamis, 29 Juli 2021 / 15:13 WIB
Tantangan baru industri migas, dongkrak produksi dan tekan emisi karbon
ILUSTRASI. Industri migas menghadapi tantangan baru yakni mendongkrak produksi dan menekan emisi karbon.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri migas tanah air harus pandai-pandai meracik strategi untuk menyeimbangkan antara peningkatan produksi migas dengan target penurunan emisi karbon (CO2). Untuk mendukung hal ini, tentu saja industri migas membutuhkan kerangka kebijakan yang jelas dan mendukung.

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas mengatakan, transisi energi dapat dilihat dari peningkatan proporsi energi baru terbarukan setiap tahunnya. Adapun persentase bauran energi migas semakin menurun tapi volume konsumsi akan semakin besar karena kebutuhan energi yang meningkat.

Sebagai gambaran, persentase bauran energi minyak pada 2020 sebesar 28,8% atau setara 1,66 juta barrel per hari, kemudian pada 2030 turun menjadi 23% dengan volume konsumsi meningkat menjadi 2,27 juta barel per hari. Lantas, pada 2050 pesrentase kembali menyusut menjadi 19,5% dengan volume konsumsi sebesar 3,97 juta barel per hari.

Peningkatan konsumsi energi nasional antara lain didorong oleh pertambahan penduduk, pertumbuhan ekonomi nasional dan daya beli masyarakat yang meningkat.

Baca Juga: Pertamina menargetkan dapat mengebor 161 sumur di Blok Rokan

Sementara, target Indonesia untuk mencapai 1 juta barrel per hari masih kurang dibandingkan permintaan di masa yang akan datang. "Maka itu, SKK Migas membuat rencana jangka panjang agar mampu mencapai target yang kami nilai tidak terlalu agresif," ujar Fatar dalam acara virtual, Rabu (28/7).

Meskipun target tersebut tidak mustahil untuk diwujudkan, industri migas masih harus menghadapi tantangan seperti investasi besar, regulasi tumpang tindih, stagnasi lifting migas sepanjang satu dekade terakhir, hingga pandemi Covid-19 yang turut mempengaruhi produksi migas dan harga minyak dunia.

Tidak hanya dari sisi kebutuhan dan permintaan yang meningkat, industri migas juga mendapat tekanan baru dari target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030.

Menyikapi hal ini, produsen migas harus bisa menyeimbangkan antara target produksi dengan target penurunan emisi karbon sehingga dapat memenuhi persyaratan kebijakan dekarbonisasi.

Untuk mencapai keseimbangan tersebut, butuh upaya yang besar. Pasalnya, pemain migas harus berhadapan dengan biaya operasional lapangan migas yang tinggi. "Saat ini sebanyak 60% lapangan migas di Indonesia sudah mature, sehingga perlu biaya yang tinggi. Beberapa lapangan migas juga memproduksi karbon cukup tinggi," ujarnya.

Melansir data yang disampaikan SKK Migas dalam acara virtual, beberapa lapangan migas yang menghasilkan karbon terbesar adalah Kuala Langsa yang dioperasikan Medco E&P dengan pengeluaran karbon hingga 81%, kemudian East Natuna yang dikelola PT Pertamina sebesar 80%, dan South Jambi yang dioperasikan ConocoPhillips sebesar 60%.

Saat ini, SKK Migas masih menunggu peraturan harga karbon (carbon pricing). Melansir keterangan resmi Kementerian ESDM pada (27/4), draft aturan ini sedang dalam tahap finalisasi di Sekretariat Negara.

"Kita harus memiliki kebijakan yang tegas supaya dapat memudahkan investasi yang akan masuk. Jadi apapun yang dihadapi di sektor lingkungan bisa dihandle sehingga semua akan merasa aman menginvestasikan uangnya di Indonesia," ujar Fatar.

Baca Juga: Jelang alih kelola, SKK Migas, Pertamina dan Chevron sambangi kepala daerah WK Rokan




TERBARU

[X]
×