kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.596.000   -9.000   -0,35%
  • USD/IDR 16.805   35,00   0,21%
  • IDX 8.644   106,34   1,25%
  • KOMPAS100 1.196   14,99   1,27%
  • LQ45 852   6,61   0,78%
  • ISSI 309   4,03   1,32%
  • IDX30 439   3,37   0,77%
  • IDXHIDIV20 514   3,08   0,60%
  • IDX80 133   1,39   1,06%
  • IDXV30 139   1,20   0,87%
  • IDXQ30 141   0,87   0,62%

Tantangan Industri Manufaktur Tahun 2026: Dari Harga Gas Hingga Gempuran Impor


Senin, 29 Desember 2025 / 17:29 WIB
Tantangan Industri Manufaktur Tahun 2026: Dari Harga Gas Hingga Gempuran Impor
ILUSTRASI. Industri garmen - produk tekstil (Dok/Kemenperin) Kinerja Industri Pengolahan Non-Migas (IPNM) alias sektor manufaktur bergerak dinamis sepanjang tahun 2025. ?


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja Industri Pengolahan Non-Migas (IPNM) alias sektor manufaktur bergerak dinamis sepanjang tahun 2025. Kombinasi dari faktor global dan domestik sempat membuat indeks manufaktur tersungkur, meskipun pada penghujung tahun bisa kembali mendaki ke zona ekspansi.

Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia mendaki ke level 53,3 per November 2025. Sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia  sempat terjerambap di zona kontraksi selama empat bulan beruntun dari April - Juli 2025.

Sementara Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat bahwa sektor manufaktur masih bisa konsisten bertengger di zona ekspansi. Nilai IKI pada November 2025 berada di level 53,45.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa PMI Manufaktur dan IKI yang kompak berada di zona ekspansi menunjukkan optimisme pelaku industri. Secara kinerja, industri manufaktur pun masih menjadi kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Baca Juga: Pabrik Motor Listrik Fokus pada Efisiensi dan Kemudahan Penggunaan

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan IPNM pada triwulan III-2025 mencapai 5,58% (year-on-year/yoy). Kontribusi IPNM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tercatat sebesar 17,39%, meningkat dibandingkan triwulan II-2025 yang sebesar 16,92%.

Dari sisi perdagangan, nilai ekspor IPNM secara kumulatif dari Januari hingga Oktober 2025 mencapai US$ 187,82 miliar atau setara 80,25% dari total ekspor nasional. “Ini menegaskan peran strategis sektor industri dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” kata Agus dalam rilis yang disiarkan pada Jumat (19/12/2025).

Di sisi lain, tingkat utilisasi industri manufaktur masih berada di level 59,28% per triwulan III-2025. Menurut Agus, kondisi ini menunjukkan ruang ekspansi industri nasional masih besar. Tetapi, pelaku industri memetakan bahwa tingkat utilisasi industri yang masih berkisar di level 60% terjadi karena sejumlah faktor.

Faktor Harga Gas Industri

Salah satu yang menjadi sorotan adalah masalah pasokan dan harga gas industri yang masih membayangi pada tahun ini. Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengingatkan pada pertengahan hingga akhir Agustus 2025 terjadi keadaan kahar (force majeure) yang membuat pasokan gas di Jawa Bagian Barat tersendat.

Yustinus juga menyatakan bahwa realisasi Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) masih jauh dari ideal, dengan rata-rata sekitar 60%-65%. Menurut dia, realisasi pasokan gas industri dengan harga yang kompetitif akan sangat berpengaruh terhadap tingkat utilisasi produksi.

Baca Juga: Kebun Raya Bogor Bidik 80.000 Pengunjung di Libur Nataru, Ini Strateginya

"Realisasi HGBT 2025 di kisaran 60%-65%, bervariasi per pelanggan dan daerah, maka segitulah utilisasi kapasitas industri. Force majeur pasokan HGBT di Jawa bagian Barat pada Agustus 2025 memunculkan peringatan keras atas rapuhnya supply chain management," ungkap Yustinus saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (29/12/2025).

Yustinus menambahkan, dengan tingkat realisasi HGBT tersebut, maka sekitar 35%-40% industri membayar harga gas hasil regasifikasi Liquefied Natural Gas (LNG) sekitar US$ 15 per Million British Thermal Unit (MMBTU). Dia mengestimasikan harga gas rata-rata berkisar di level US$ 10 per MMBTU, jauh lebih tinggi ketimbang kebijakan HGBT sekitar US$ 7 per MMBTU. 

Dengan asumsi meningkatnya pasokan gas dari hulu, Yustinus meminta agar kebijakan HGBT US$ 7 per MMBTU bisa terealisasi pada tahun 2026, dengan realisasi pasokan minimal 90%. Realisasi HGBT bakal menjadi faktor krusial untuk mengungkit tingkat utilisasi dan daya saing industri nasional di pasar domestik maupun ekspor.

"Realisasi 90% HGBT akan tampak di kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional. Pelaku industri dan juga investor menyoroti tentang komitmen Pemerintah dalam hal ini," kata Yustinus.

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto turut menyoroti persoalan harga gas industri. Edy mengungkapkan rata-rata industri keramik yang menerima pasokan sesuai HGBT sebesar US$ 7 per MMBTU hanya sekitar 60% di Jawa Bagian Barat dan sekitar 50%-55% di Jawa Bagian Timur.

Selebihnya industri harus membayar surcharge dengan harga sekitar US$ 15,4 per MMBTU. Edy bilang, kelancaran pasokan gas dengan realisasi HGBT menjadi salah satu faktor yang membayangi prospek kinerja industri pada tahun 2026.

Gempuran Produk Impor

Baca Juga: Kebun Raya Bogor Bidik 80.000 Pengunjung di Libur Nataru, Ini Strateginya

Selain harga gas dari sisi operasional, secara bisnis Asaki menyoroti gangguan dari banjir produk impor. Asaki mencatat pada tahun ini ada lonjakan impor yang signifikan dari Malaysia dengan kenaikan sekitar 210%, India (55%) dan Vietnam (32%). 

Asakip pun akan bekerjasama dengan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) untuk menginisiasi penyelidikan dumping oleh India. Selain itu, Asaki sedang mengumpulkan data terkait indikasi  transhipment produk China melalui Malaysia.

Secara kinerja, tingkat utilisasi industri keramik membaik pada tahun ini. Asaki mencatat rata-rata utilisasi industri keramik nasional meningkat dari 66% pada tahun 2024 menjadi 73% pada tahun ini.

Kondisi ini antara lain disebabkan oleh kebijakan proteksi pemerintah berupa anti-dumping, safeguard, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib untuk keramik. Pada tahun 2026, Asaki memproyeksikan tingkat utilisasi bisa kembali naik ke level 80%, bahkan berpotensi lebih dari 90% jika terdongkrak realisasi program 3 juta rumah.

Di sisi lain, gempuran produk impor juga masih menjadi tantangan bagi industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT). Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi menyoroti masih terjadinya praktik impor ilegal, praktik dumping, dan pemberian kouta impor secara berlebihan.

Menurut Farhan, pembenahan di industri TPT seperti penertiban praktik impor pakaian bekas (thrifthing) oleh Kementerian Keuangan mesti diikuti oleh Kementerian terkait lainnya agar perlindungan pasar domestik bisa lebih optimal. 

"Industri tekstil harus jadi perhatian dari pemerintah. Tahun 2026 akan menjadi tahun penentuan dan krusial bagi sejumlah perusahaan untuk dapat bertahan di periode yang akan datang," kata Farhan.

Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto sepakat perlunya dukungan dari pemerintah. Apalagi, para pengusaha juga mesti menghadapi kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026.

Kondisi ini akan membebani para pengusaha apabila kenaikan upah tidak dibarengi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya. "Kami juga minta pemerintah bantu dengan penambahan efisiensi di aturan, jangan overlapping, jangan ada sertifikasi berlebih. Ujungnya kan cost itu akumulasi dari berbagai biaya, bukan hanya upah," kata Anne.

Anne tak menampik kinerja TPT nasional berada dalam tren menukik selama hampir tiga dekade terakhir. Namun secara prospek usaha, Anne membantah bahwa industri TPT merupakan industri yang sedang tenggelam (sunset).

Menurut Anne, saat ini industri TPT sedang berada pada fase transisi penting. Sektor TPT mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Tetapi, pemulihan ini tidak terjadi secara seragam.

Sektor hulu masih cenderung menantang, sedangkan sektor hilir seperti garmen dan apparel bergerak lebih cepat. Order domestik meningkat,  beberapa pasar ekspor kembali membuka ruang, dan tingkat optimisme pelaku industri kembali  terlihat.

Anne turut menyoroti harapan pelaku industri dari penertiban impor tekstil dan pakaian bekas ilegal. Selama bertahun-tahun, persoalan ini telah menjadi “lubang besar” yang merusak struktur industri. Meski begitu, Anne masih memandang prospek tahun 2026 dengan optimisme yang hati-hati. 

"Jika kebijakan protektif, penegakan hukum, dan transformasi industri bisa berjalan  bersamaan, kami yakin pada 2026 industri TPT Indonesia dapat kembali ke jalur pertumbuhan yang lebih stabil. Sinyal-sinyal awal ke arah itu sudah mulai terlihat," tandas Anne.

Baca Juga: MRT Jakarta Berlakukan Jam Operasional Khusus Malam Tahun Baru 2026, Simak Rinciannya

Selanjutnya: Prodia Widyahusada (PRDA) Siapkan Agenda Ekspansi untuk Tingkatkan Bisnis pada 2026

Menarik Dibaca: 7 Makanan yang Harus Dibatasi Penderita Gula Darah Tinggi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×