Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha jasa pengiriman atau ekspedisi menilai saat ini bukan momentum yang tepat untuk menaikkan tarif jalan tol. Kenaikan tarif bisa mendongkrak biaya operasional di tengah tekanan pandemi covid-19 yang masih menghantui dunia usaha.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) M. Feriadi berharap, kenaikan tarif tol bisa mempertimbangkan realitas dunia usaha saat ini. Menurutnya, pada masa krisis seperti sekarang idealnya pelaku usaha tidak terbebani dengan adanya tambahan biaya-biaya operasional lain.
Kenaikan tarif tol bakal dirasakan oleh pelaku usaha yang melayani ekspedisi antar kota. "Bagi pelaku pengiriman domestik yang banyak menggunakan jalur darat tentu akan berpengaruh, khususnya mereka yang sering menggunakan jalan tol," kata Feriadi saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (17/8).
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Perusahaan Multimoda Transport Indonesia (PPMTI) Kyatmaja Lookman mengungkapkan, dari sisi transportasi secara umum Tol Trans Jawa memang bisa mengefektifkan waktu tempuh. Namun kendaraan-kendaraan besar ekspedisi banyak yang tidak melewati tol dan masih memilih menggunakan jalur Pantai Utara (Pantura).
Baca Juga: Nilai transaksi sebagian saham-saham BUMN ini turun, simak rekomendasi analis
Hanya saja pada kondisi tertentu seperti saat banjir dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), Tol Trans Jawa dipilih sebagai jalur pengangkutan. Kenaikan tarif akan menambah beban biaya operasional bagi perusahaan logistik.
Kyatmaja menggambarkan, untuk ekspedisi dengan jarak dekat tarif tol berkontribusi sekitar 5%-10% terhadap komponen biaya operasional. Sedangkan untuk ekspedisi jarak jauh yang lebih banyak menggunakan jalur Pantura, tarif tol menempati porsi sekitar 3%.
Sementara untuk ekspedisi jarak jauh yang lebih banyak memakai tol, kontribusi terhadap biaya operasional bisa mencapai 20%. "Kenaikan tol memang kurang tepat jika bicara konteks sekarang. Menaikkan harga tol bukan solusi karena masyarakat juga mengalami penurunan pendapatan," kata Kyatmaja.
Dia memahami, pendapatan operator juga merosot akibat anjloknya volume lalu lintas kendaraan. Di sisi lain, pengelola tol pun harus mengejar target balik modal atau mencapai Break Even Point (BEP). Mempertimbangkan kondisi pandemi saat ini, Kyatmaja mengusulkan agar kepentingan pengelola tol tersebut bisa diakomodasi dari sisi penyesuaian konsesi.
Baca Juga: Mulai 19 Agustus, tarif jalan tol Jakarta-Surabaya atau sebaliknya naik 4,41%
"Jadi kan saat ini waktu seakan membeku karena pandemi. Misalnya yang dulunya diharapkan 20 tahun bisa BEP, jadi bergeser. Mungkin jalan tengahnya harga tidak dinaikkan tapi waktu konsesi ditambah," ungkap Kyatmaja yang juga merupakan Direktur Utama PT Lookman Djaja Logistics.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto juga mengamini saat ini bukan momentum yang tepat untuk menaikkan tarif tol. Justru pada masa-masa sekarang, biaya-biaya yang membebani ongkos angkut harus dikurangi. Apalagi jalur pengiriman lewat udara juga merosot seiring minimnya frekuensi penerbangan.
Kenaikan tarif tol dinilai kontraproduktif dengan upaya untuk menurunkan biaya logistik agar semakin kompetitif. Lebih jauh mengenai biaya logistik, Mahendra membeberkan bahwa Pulau Jawa masih menjadi nadi perekonomian dengan populasi terbesar, pergerakan barang pun paling dominan.
Dengan kondisi ini, biaya logistik di Pulau Jawa seharusnya bisa ditekan menjadi yang paling murah agar bisa mensubsidi wilayah lain yang biaya transportasinya masih tinggi, seperti di Indonesia Timur. Dengan biaya logistik yang tidak timpang, kebijakan satu harga (one price policy) realistis untuk diwujudkan.
"Jadi dengan pegerakan barang paling banyak, biaya logistik di Jawa harusnya paling murah. Keuntungan dari murahnya biaya logistik di Jawa itu bisa mensubsidi biaya logistik yang mahal, misalnya ke arah timur," kata Mahendra saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (17/8).
Baca Juga: Tahun ini Jasa Marga (JSMR) ikut serta dalam dua pelelangan ruas jalan tol
Dia meminta pemerintah selayaknya memperhatikan komponen biaya logistik dari hulu hingga hilir, beserta berbagai hambatannya. Termasuk masalah klasik pungutan liar (pungli) yang masih marak, biaya bahan bakar dan sparepart, hingga biaya tol yang dinilai masih mahal.
Terlepas dari penyesuaian tarif di masa pandemi, Mahendra menekankan bahwa evaluasi kenaikan tarif tol semestinya bisa ditinjau lagi. Sehingga memihak pada penurunan komponen biaya logistik.
"Dari berbagai tarif golongan tol, justru truk logistik paling mahal, kenapa begitu? kalau mau biaya logistik rendah, ya dibalik dong. Justru untuk angkutan logistik harusnya paling murah," sebut Mahendra.
Sebagai informasi, taril tol Jakarta-Surabaya atau sebaliknya akan mengalami kenaikan tarif. Untuk kendaraan Golongan I misalnya, tarif naik 4,41% dari Rp 691.500 menjadi Rp 722.000 secara kumulatif dari sejumlah transaksi di gerbang tol utama.
Dasar penyesuaian tarif tol diatur Pasal 48 ayat (3) UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan PP No. 30 Tahun 2017 tentang Jalan Tol, bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflasi.
Selanjutnya: BRI targetkan volume transaksi Brizzi capai 300 juta hingga akhir tahun 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News