Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini menuai kekhawatiran dari pelaku industri tambang batubara, mengingat dampak signifikan terhadap biaya operasional, daya saing, hingga potensi menurunnya ekspor.
Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani, mengatakan kenaikan PPN ini akan meningkatkan biaya produksi perusahaan tambang. Selain itu, kebijakan tersebut juga dapat menghambat minat investasi baru dan pembelian barang modal oleh perusahaan tambang akibat beban pajak yang lebih tinggi.
“Dampak kenaikan PPN ini tidak hanya terhadap perusahaan, tapi juga terhadap minat investor yang akan semakin berkurang akibat tingginya beban pajak,” kata Gita kepada Kontan, Jumat (13/12).
Baca Juga: Ada Pajak Alat Berat dan PPN 12%, Prospek Industri Alat Berat Nasional Makin Suram
Senada, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menyebut, kenaikan PPN berdampak pada banyak aspek operasional. Ia menyoroti kenaikan biaya PPN input, tekanan pada arus kas perusahaan (cash flow), serta potensi keterlambatan dalam pengembalian (refund) PPN.
“Stripping ratio yang terus meningkat karena usia tambang, depresiasi nilai tukar rupiah, serta kenaikan biaya bahan bakar turut memperberat beban perusahaan tambang,” ujar Hendra kepada Kontan, Jumat (1312).
Sementara itu, Ketua BK Tambang Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, juga menguraikan dampak spesifik kenaikan PPN ini. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini memengaruhi setiap aspek operasional, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemasaran.
Menurut Rizal, biaya input untuk bahan bakar, peralatan, dan material akan naik secara signifikan, yang menyebabkan margin keuntungan menjadi lebih tipis.
“Kondisi ini memperlemah daya saing perusahaan tambang Indonesia di pasar global, terutama dengan negara pesaing seperti Vietnam yang justru menurunkan tarif PPN menjadi 8%,” jelasnya kepada Kontan, Jumat (13/12).
Selain itu, kenaikan tarif PPN diproyeksikan memengaruhi harga jual batubara. Kenaikan biaya produksi akan berdampak pada daya saing produk di pasar ekspor. Negara importir berpotensi beralih ke negara lain yang menawarkan harga lebih kompetitif.
“Jika dampaknya cukup signifikan, pendapatan negara dari ekspor batubara bisa terancam menurun,” imbuh Rizal.
Baca Juga: Ambisi Hilirisasi Nikel Terancam dengan Cadangan yang Habis dalam 25 Tahun
Rizal juga mencatat sejumlah faktor penghambat lain, seperti kenaikan biaya logistik, tenaga kerja outsourcing, serta peningkatan biaya infrastruktur dan peralatan.
Dampak ini makin terasa karena mayoritas perusahaan tambang menggunakan jasa kontraktor yang tentu akan menaikkan tarif akibat beban pajak baru.
Adapun, para pelaku industri sepakat pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN ini.
Mereka menilai kebijakan tersebut berpotensi memperlambat pertumbuhan sektor tambang yang saat ini menjadi salah satu penyumbang terbesar devisa negara.
“Kami berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan ini dan mencari cara agar dampak negatif terhadap industri tambang dapat diminimalisir. Dengan demikian, daya saing global tetap terjaga,” pungkas Rizal.
Jika kebijakan ini tidak dipertimbangkan dengan matang, industri tambang batu bara Indonesia berisiko kehilangan posisinya di pasar internasional. Akibatnya, potensi kehilangan devisa dan investasi baru di sektor ini menjadi ancaman nyata.
Selanjutnya: Rupiah Rp 16.000: Bank Indonesia Tegaskan Intervensi Pasar Pakai Tiga Jurus Sekaligus
Menarik Dibaca: Hujan Turun Merata di Siang Hari, Ini Prediksi Cuaca Besok (14/12) di Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News