Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sedang menyiapkan draf Peraturan Pemerintah mengenai Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP di Bidang Usaha Pertambangan Batubara. Aturan tersebut juga akan mengatur tentang kenaikan royalti batubara bagi pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian.
Pengamat hukum energi dan pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai, kenaikan tarif royalti batubara bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara.
Namun, perlu dipertimbangkan lagi, bahwa di dalam Undang-Undang Cipta Kerja telah ada PPN 10% untuk batubara. Lalu di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah pula diatur adanya pajak karbon.
"Inilah yang menjadi pertimbangan apakah perlu ada kenaikan royalti batubara," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (10/3).
Baca Juga: Pemerintah akan Naikkan Royalti Batubara, Ini Kata APBI
Redi menjelaskan, royalti batubara saat ini berlaku beragam antara pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Untuk IUP pun tergantung dengan kualitas (kalorinya) mulai dari pengenaan royalti 3% sampai dengan 7%. Sedangkan, tarif royalti untuk pemegang PKP2B atau generasi 1, 2, dan 3 sebesar 13,5%.
Redi menilai, rencana kenaikan tarif royalti dengan skema berjenjang ini akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Namun, tidak akan ada dampak siginifikan pada potensi penjualan batubara dan potensi penurunan penerimaan negara lainnya.
"Hal ini karena meskipun terjadi kenaikan, royalti dihitung sesuai dengan jumlah produksi batubara. Artinya berapapun produksi batubara, maka royalti mengikuti jumlah produksi tersebut dihitung dengan tarif royalti," ujarnya.
Baca Juga: Ini Aturan Denda bagi Perusahaan Pelanggar Aturan DMO Batubara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News