Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia masih sulit jika tantangan yang ada saat ini tidak segera diselesaikan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan tiga permasalahan utama yang menghambat pertumbuhan sektor ini. .
Pertama, kapasitas PLN dalam proses pelelangan, Fabby mengkritik kinerja PLN dalam pengadaan proyek energi terbarukan, terutama dalam proses pelelangan yang dianggap tidak konsisten dan terjadwal.
“Pelelangan tidak dilakukan secara rutin dan lebih banyak didahulukan kepada anak perusahaan PLN. Masalahnya, anak perusahaan ini sering kali tidak memiliki kapasitas finansial yang memadai sehingga harus mencari equity partner. Namun, model ini justru mengurangi minat investor karena risiko yang besar,” kata Fabby kepada Kontan, Senin (30/12).
Dia menerangkan, fokus pemberian tugas kepada anak perusahaan juga berkontribusi pada perlambatan pengembangan energi terbarukan. Akibatnya, penambahan kapasitas energi terbarukan sejak 2021 jauh dari target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebesar 10,5 GW.
Baca Juga: Bisa Jadi Penggerak Holding di Masa Depan, Pertamina NRE Punya Portofolio EBT Lengkap
Kedua, ketidaksesuaian tarif energi terbarukan. Menurut Fabby, salah satu hambatan terbesar adalah tarif energi terbarukan yang diatur dalam Perpres Nomor 112 Tahun 2022. Tarif tersebut dinilai tidak menarik bagi investor karena dihitung berdasarkan kondisi ekonomi tahun 2019-2020 yang tidak relevan dengan realitas saat ini.
“Bunga pinjaman tinggi membuat biaya proyek meningkat, sementara tarif yang digunakan tetap berbasis perhitungan lama. Return investasi yang diharapkan investor, sekitar 10-12%, tidak bisa dipenuhi oleh tarif dalam Perpres ini,” ujar Fabby.
Dia merekomendasikan pemerintah untuk meninjau ulang tarif, terutama untuk proyek-proyek energi terbarukan skala kecil di bawah 10 MW seperti PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) atau PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya).
“Proyek kecil sering kali sulit mendapatkan pendanaan karena tarif saat ini tidak mencerminkan risiko dan kebutuhan mereka,” imbuhnya.
Ketiga, keterbatasan finansial pengembangan lokal. Fabby juga menyoroti kemampuan finansial pengembang lokal yang semakin terbatas di tengah kondisi ekonomi global yang tidak stabil.
“Suku bunga yang tinggi, depresiasi nilai tukar rupiah, dan akses pendanaan yang sulit semakin memperburuk situasi bagi pengembang lokal,” katanya.
Baca Juga: Bisnis Energi Terbarukan, Anak Usaha Alamtri (ADRO) Kantongi Pinjaman US$ 4,1 Juta
Fabby menyarankan agar pemerintah menyediakan fasilitas pendanaan yang mendukung pengembang lokal, sembari meningkatkan daya tarik investasi asing langsung.
Namun, daya tarik investasi Indonesia secara keseluruhan dinilai kurang kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Untuk mengatasi tantangan ini, Fabby menggarisbawahi pentingnya langkah konkret dari pemerintah, yaitu: meningkatkan kapasitas dan konsistensi proses pelelangan PLN, menyesuaikan tarif energi terbarukan agar lebih menarik bagi investor, meningkatkan iklim investasi melalui reformasi regulasi dan penguatan daya saing sektor EBT.
“Jika langkah-langkah ini tidak diambil, target pengembangan energi terbarukan hingga 2025 akan semakin sulit dicapai,” tutup Fabby.
Selanjutnya: Bisa Jadi Penggerak Holding di Masa Depan, Pertamina NRE Punya Portofolio EBT Lengkap
Menarik Dibaca: Katalog Promo Alfamidi Hemat Satu Pekan Periode 30 Desember 2024-5 Januari 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News