kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.543.000   4.000   0,26%
  • USD/IDR 15.839   -99,00   -0,63%
  • IDX 7.462   -30,39   -0,41%
  • KOMPAS100 1.155   -4,60   -0,40%
  • LQ45 914   -6,43   -0,70%
  • ISSI 227   0,61   0,27%
  • IDX30 470   -4,56   -0,96%
  • IDXHIDIV20 567   -5,69   -0,99%
  • IDX80 132   -0,48   -0,36%
  • IDXV30 141   0,34   0,24%
  • IDXQ30 157   -1,24   -0,78%

Tren properti hijau mulai tumbuh


Kamis, 03 Mei 2012 / 09:30 WIB
ILUSTRASI. Laba Siloam International Hospitals (SILO) melesat pada kuartal I 2021


Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Properti hijau atau properti ramah terhadap lingkungan, sudah menjadi tren dan menjadi daya tarik di mata konsumen tertentu. Tidak heran jika banyak pengembang berlomba-lomba mengklaim proyeknya sebagai properti hijau.

Menurut Chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI) Naning Adiwoso, tren properti hijau mulai terasa di Indonesia dua tahun terakhir. "Dulu orang mencari rumah hanya melihat rumahnya saja, sekarang sudah mulai melihat ada pepohonannya atau tidak," ujar Naning. GBCI merupakan anggota World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada.

Sebenarnya, untuk masuk kategori ramah lingkungan, sebuah bangunan tak cukup hanya dengan memiliki taman atau pepohonan. Ada sejumlah kriteria, termasuk desain dan material yang digunakan.

Misalnya, tingkat isolasi yang tepat untuk mengurangi panas yang tidak diinginkan. Ini dilakukan dengan memilih jenis material yang tepat untuk atap, dinding, pintu, jendela, dan lantai.

Namun, imbuh Naning, desain dan material sendiri hanya berpengaruh 18% terhadap penilaian bangunan hijau. Perilaku penghuninya justru lebih menentukan. Bobotnya 40%. "Percuma kalau desainnya sudah bagus, tapi penghuninya menyalakan lampu terus atau membuang sampah berlebihan," terangnya.

Sayangnya, berdasarkan data GBCI, masih sedikit rumah yang benar-benar menerapkan prinsip bangunan hijau di Indonesia. "Bisa dihitung dengan jari," ujar Naning. Alasannya, pengertian bangunan hijau sendiri belum tuntas dan belum semua orang menyadarinya.

Padahal, memilih bangunan hijau sebagai tempat tinggal merupakan investasi jangka panjang. "Dampaknya akan terasa dalam waktu yang lama, seperti kesehatan membaik atau tarif listrik murah," tuturnya.

Membangun bangunan hijau pun belum tentu memakan biaya besar. Orang bisa menggunakan material bekas untuk menekan biaya, sekaligus mengurangi emisi.

Masih jadi pemanis

Ketua Umum Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) sekaligus Presiden Direktur broker properti ERA Indonesia Darmadi Darmawangsa masih sangsi akan perkembangan properti hijau di Indonesia. Dia menilai jargon "hijau" yang diusung pengembang masih mengambang, untuk jualan semata.

Konsumen juga sebenarnya belum sungguh-sungguh menyikapi properti hijau. "Pengembanglah yang berusaha menciptakan pasar baru," ujarnya. Ia melihat tren properti hijau baru marak beberapa tahun belakangan.

Menurut dia, properti hijau tidak banyak berpengaruh terhadap investasi di properti karena tak jadi selling point. "Kalau ada proyek dengan harga yang sama, yang satu ada bonus pohon, yang satu ada bonus tempat parkir, tentu konsumen akan memilih yang kedua," bebernya. Embel-embel hijau, menurut Darmadi, hanya jadi pemanis.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×