Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketergantungan Indonesia pada ekspor sumber daya alam (SDA), khususnya komoditas mineral, batubara, dan kelapa sawit, menghadapi tekanan baru seiring kebijakan tarif impor tinggi dari Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Kebijakan tersebut memicu kekhawatiran pelaku usaha dan pengamat terhadap potensi penurunan permintaan global, terutama dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai ekspor komoditas masih menjadi andalan pendapatan nasional dalam satu dekade terakhir.
Namun, dampak perang tarif antara AS dan negara lain bisa mengguncang permintaan, terutama jika melemahnya sektor industri global berdampak pada penurunan konsumsi listrik di negara-negara tujuan ekspor seperti Tiongkok, India, Asia Tenggara, dan Asia Timur Jauh.
"Di tengah tekanan ekonomi sebagai imbas dari kebijakan tarif Presiden Trump, sepertinya kita mau tidak mau masih mengandalkan ekspor komoditas minerba dan sawit," kata Hendra kepada Kontan, Minggu (6/4).
Baca Juga: Kebijakan Tarif Impor AS Berpotensi Menekan Kinerja Emiten Berorientasi Ekspor
Ia menambahkan, sektor ini akan terdampak jika kebutuhan energi di negara mitra menurun akibat perlambatan industri domestik mereka.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti potensi kontraksi tajam pada komoditas utama ekspor Indonesia.
"Batubara, minyak, sawit, nikel, dan produk tambang lainnya sangat mungkin mengalami penurunan permintaan, terutama ke China, apalagi setelah muncul tarif balasan atas produk-produk dari AS," ujarnya kepada Kontan, Minggu (6/4).
Menurut Bhima, perusahaan-perusahaan komoditas berorientasi ekspor dihadapkan pada dua pilihan strategis: menurunkan margin dan memangkas produksi, atau mulai mengalihkan komoditas ke pasar dalam negeri. Meski demikian, ada harapan untuk sejumlah produk tertentu.
"Ada peluang jika produk seperti tembaga dan nikel dikecualikan dari tarif resiprokal Trump. Pemerintah perlu memanfaatkan ini untuk dorong ekspor olahan nikel seperti NPI, feronikel, dan nikel matte ke AS. Tapi syaratnya, harus dipenuhi traceability, standar lingkungan, dan perlindungan tenaga kerja," tandas Bhima.
Dari sisi hukum dan regulasi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar menilai kebijakan tarif AS akan membuat harga beli komoditas Indonesia menjadi tidak kompetitif di pasar AS. Hal ini berpotensi memaksa pelaku usaha untuk menurunkan harga jual atau kehilangan pasar.
"Kebijakan tarif impor akan berpengaruh pada semua perdagangan Indonesia ke AS, termasuk komoditas pertambangan dan sawit. Harga yang lebih tinggi akan membuat AS mencari alternatif komoditas lokal atau dari negara lain," jelas Bisman kepada Kontan, Minggu (6/4).
Bisman juga menekankan pentingnya diplomasi ekonomi. Menurutnya, pemerintah perlu mendorong negosiasi ulang atau melobi AS untuk mengamankan kepentingan ekspor Indonesia.
"Pelaku usaha harus bijak dan berpikir strategis. Komoditas seperti sawit masih sangat prospektif. Tapi kita juga perlu membuka pasar alternatif di Eropa, India, dan China untuk mengurangi ketergantungan pada AS," pungkasnya.
Baca Juga: Kebijakan Tarif Impor Trump Berpotensi Lemahkan Daya Saing Pulp dan Kertas Indonesia
Selanjutnya: Kebijakan Tarif Impor AS Berpotensi Menekan Kinerja Emiten Berorientasi Ekspor
Menarik Dibaca: Cara Membuat Foto ala Studio Ghibli dengan Bantuan ChatGPT, Simak Tutorialnya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News